"Kemaren kamu sudah nggak masuk. Kalau hari ini nggak masuk lagi, mau dapat apa kuliahmu itu. Ayo, sana mandi."
Samudra bergeming di bawah selimut. Murni duduk di tepi tempat tidur. Ditariknya selimut Samudra perlahan.
"Ayolah, Nak, kaki Ibu rasanya sudah mulai pegal, dari tadi bolak-balik ke sini membangunkanmu."
Baca Juga: Mangsa Ternak Sapi, Warga Menghalau Harimau agar Kembali ke Habitatnya
"Ya sudah, kenapa Ibu masih ke kamar Samudra lagi?"
"Kamu harus bersiap sekarang, nanti pulang kuliah jemputlah adikmu. Jangan terlambat lagi seperti kemaren, kasihan si Upik."
"Terus, sorenya langsung mengantar kue ke warung. Terus apalagi, Bu? Apa lagi daftar tugas untuk Samudra?"
"Ibu harus minta tolong siapa lagi, Nak. Sejak ayahmu pergi tidak ada lagi yang membiayai kehidupan kita. Satu-satunya harapan kita, ya kue-kue itu."
Samudra melempar selimutnya dan melangkah keluar kamar dengan wajah bersungut-sungut menahan kesal. Tak dipikirkannya bagaimana perasaan sang ibu menerima perilakunya yang bagai tak pernah mengenal kasih ibu. Untuk membangunkan mimpinya yang masih bergelayut, dihirupnya kopi yang sudah tersedia di meja makan. Rasa malas menghalanginya untuk dapat menyadari betapa nikmat kopi yang sudah tersedia di pagi hari, tanpa harus repot menyeduh terlebih dulu.
Terlampau jauh dari rasa syukur, Samudra duduk di ruang tengah sambil menyalakan rokoknya. Dinyalakannya televisi sambil merebahkan kembali tubuhnya yang kumal di kursi panjang berdebu dan usang. Murni mengelus dada melihat tingkah anaknya. Dihampirinya Samudra, lalu duduk di sampingnya. Kelembutan di wajahnya tak juga sirna oleh rasa kecewa dan murka yang dideritanya. Kasih sayang tak terhapus oleh kerasnya perjuangan mendidik sang jabang bayi yang sudah bertumbuh usianya.
Baca Juga: Hidden Gems UBUD, Warung Murah dengan Air Terjun di Depan Mata!
"Kamu yang sabar ya, Nak. Nanti kalau sudah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang cukup penghasilannya, biar tidak hidup seperti ini terus."
Samudra mendengus. "Tiap hari itu terus yang Ibu katakan."
"Memang itu cita-cita dan harapan Ibu. Tiap malam Ibu selalu berdoa agar kamu dan Upik kelak hidup bahagia. Makanya Ibu tak kenal lelah berjualan kue. Tugasmu cuma mengantarkannya, karena adikmu masih kecil dan belum bisa ditinggal."
"Tumpukan keranjang berisi kue-kue Ibu itu berat, makanya harus Samudra yang mengantarkan. Begitu kan, Bu?"
Artikel Terkait
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Enam
Cerbung: Cicak Jatuh di Halaman
Cerbung: Cicak Merayap di Dinding