Baca Juga: Hidden Gems UBUD, Warung Murah dengan Air Terjun di Depan Mata!
"Kamu yang sabar ya, Nak. Nanti kalau sudah lulus kuliah, carilah pekerjaan yang cukup penghasilannya, biar tidak hidup seperti ini terus."
Samudra mendengus. "Tiap hari itu terus yang Ibu katakan."
"Memang itu cita-cita dan harapan Ibu. Tiap malam Ibu selalu berdoa agar kamu dan Upik kelak hidup bahagia. Makanya Ibu tak kenal lelah berjualan kue. Tugasmu cuma mengantarkannya, karena adikmu masih kecil dan belum bisa ditinggal."
"Tumpukan keranjang berisi kue-kue Ibu itu berat, makanya harus Samudra yang mengantarkan. Begitu kan, Bu?"
Samudra, seperti tak mau lagi melumuri telinganya dengan kalimat jawaban ibunya, segera berdiri. Dia mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Di sana dia merasa aman dari sumber-sumber dan jalan kehidupan yang disebutnya sebagai petuah usang sang ibu.
Murni kembali mengelus dadanya dan berlalu ke dapur, bergelut memperjuangkan hasil yang sempurna untuk kue-kuenya. Diiringi doa tiada terputus, diolahnya kue-kue itu bertabur dengan syukur pada Sang Maha Adil. Tak lupa diselipkannya doa agar putra tercintanya berubah dan tumbuh menjadi manusia yang layak.
*
Baca Juga: Berikut Pemenang Film Festival Antikorupsi Yang Digelar KPK
"Sam, kamu ini gimana toh, runtang-runtung sama si Ratna, tapi ndak jelas pacaran apa ndak," kata Jamal seusai kuliah.
Artikel Terkait
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Enam
Cerbung: Cicak Jatuh di Halaman
Cerbung: Cicak Merayap di Dinding