Dengan mengucap berjuta syukur di dalam hati, Puniawati bergegas meninggalkan meja resepsionis. Didekapnya agenda untuk menahan gejolak di dalam dadanya. Tubuhnya bergetar, pikirannya buntu, tidak tahu apa selanjutnya yang akan dia lakukan.
Kakinya terus melangkah mengikuti petunjuk resepsionis. Di matanya ada kesan, gadis resepsionis itu sudah mengenal suaminya dengan baik. Nalurinya mengatakan, suaminya sudah sering berkunjung ke hotel ini.
Dinyalakannya kretek sambil menyusuri lorong di pinggir taman, tak peduli pada tulisan ‘dilarang merokok’ terpampang besar di sudut dinding yang baru saja dilaluinya. Puniawati sibuk meredam hati agar tak menangis di sana. Dengan dada berdetak hebat matanya meneliti nomor yang terpampang di setiap pintu kamar.
Sampai di ujung lorong langkahnya terhenti. Pintu kamar nomor 203 sudah tertutup rapat. Di depan pintu ada sepatu suaminya dan sepasang sepatu perempuan. Puniawati berhenti, merasakan tubuhnya tiba-tiba seperti membeku.
Diisapnya kretek tanpa jeda untuk mencegah air mata jatuh. Matanya nyalang menatap dua pasang sepatu di depan pintu kamar hotel. Kakinya seperti tertancap di lantai mengkilap, sulit untuk digerakkan. Seperti anak kecil kehilangan ibunya, Puniawati beberapa kali mengedipkan matanya yang tiba-tiba terlihat sedemikian kosong.
Baca Juga: Malam Pertama, Ria Ricis Mendoakan Para Penggemar dan Didoakan Teuku Ryan, Sang Suami
Seorang tamu hotel lain berjalan melewatinya. Matanya mengawasi Puniawati, kemudian mengikuti tatapan Puniawati ke pintu kamar nomor 203. Sangat kentara nada bertanya-tanya di tatapan itu. Puniawati segera melangkah ke kamar 203.
Setelah tamu itu tak terlihat, Puniawati berbalik, berjalan ke samping dan duduk di kursi teras kamar sebelah yang pintunya juga tertutup rapat. Kaki Puniawati terlihat bergetar hebat. Jemarinya berkeringat meremas agenda, matanya menatap kosong pepohonan dan bunga-bunga di taman.
Pikirannya melayang tak tentu arah, tangan dan bibirnya bergetar menahan entah amarah atau kecewa, atau sedih? Puniawati sendiri tak dapat menebak hatinya. Diisapnya kretek dalam-dalam, mencoba bersikap biasa, lalu membuang puntungnya begitu saja.
Setelah lama menimbang, Puniawati segera meninggalkan tempat itu, berjalan kembali ke meja resepsionis. Gadis cantik yang tadi berbincang dengannya menghampiri sambil tersenyum ramah.
Baca Juga: Atlet Cabor Basket PALI Telah Meluncur ke Porprov XIII OKU Raya, Begini Pesan Ketua Kontingen PALI
"Tidak jadi, Mbak?" Melirik agenda di tangan Puniawati.
"Sudah, hanya melihat jadwal rapat. Terima kasih, ya."
"Sama-sama." Mengangguk.
Bersambung….
Artikel Terkait
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara
Novel Melukis Langit 2, Gumpalan Awan Hitam
Novel Melukis Langit 3, Pertemuan
Novel Melukis Langit 4, Keputusan
Novel Melukis Langit 5, Perselingkuhan
Novel Melukis Langit 6, Kenyataan Pahit
Novel Melukis Langit 7, Cintanya Ditelan Laut
Novel Melukis Langit 8, Bersenggama dengan Laut
Novel Melukis Langit 9, Gadis di Pangkuannya