“Nginep berapa hari?”
“Mungkin tiga hari, tapi nggak perlu khawatir, temanku lelaki semua.” Aji memamerkan giginya.
“Ya sudah, hati-hati, ya.”
Puniawati mencium punggung tangan Aji sambil menyembunyikan air mata. Senyum dan wajah cerianya membuat Aji melangkah dengan riang.
Baca Juga: Dituding Legalkan Seks Bebas, Nadiem: Sangat Kaget dan Mustahil Melegalkannya
Sungguh dia tak menyadari Puniawati sedang berjuang untuk tak marah pun menangis. Dia hanya mampu menggenggam ingatan tentang pesan singkat yang tak sengaja terbaca olehnya pada ponsel Aji dua malam sebelumnya.
Sabtu nanti jadi menginap di pantai kan, sayang? Aku tunggu di tempat biasa, ya. Jangan terlambat lagi. Pengirim: Mala
“Aku tak pernah menemukan wajah cinta di balik mimpi-mimpiku, Aji. Akan kupersembahkan apa pun yang kau inginkan dariku, tapi jika laut dan kebohongan itu adalah pilihanmu, aku tak dapat berjanji apa pun. Untuk kesekian kalinya kau lakukan ini pada pernikahan kita yang baru seumur jagung. Aku akan tetap tersenyum padamu andai esok kau lakukan lagi. Semoga harimu menyenangkan,” bisik Puniawati sambil mengawasi langkah suaminya.
Mata Puniawati terlihat hitam legam menatap punggung suaminya. Air mata bergulir jatuh ke perutnya yang sudah membesar. Sekelebat dia melihat bayangan air laut bergolak.
Baca Juga: Disdik Musi Rawas Dapatkan Hibah Barang Senilai Rp3 Miliar
Dua malam Puniawati memoles hatinya dengan doa dan dzikir untuk meredam marah. Dua malam Puniawati hanya diam bersenggama dengan malam, menyatu dalam heningnya.
Sampai pada malam berikutnya, senyum lembut di matanya yang sayu itu terhentak oleh ketukan keras di pintu. Suaminya berdiri di sana dengan wajah seputih kapas, ditemani beberapa petugas polisi.
“Ada apa, Mas?”
“Maaf Bu, Ibu siapa?”
“Saya istri Mas Aji, Pak.”
Artikel Terkait
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara
Novel Melukis Langit 2, Gumpalan Awan Hitam
Novel Melukis Langit 3, Pertemuan
Novel Melukis Langit 4, Keputusan
Novel Melukis Langit 5, Perselingkuhan
Novel Melukis Langit 6, Kenyataan Pahit