"Aku minta sekali lagi, kamu aja yang putusin."
"Dan, nanti jika keluarga mempertanyakan, Mas Aji selamat dari berbagai tudingan?” Puniawati menahan sesak napas, lalu melanjutkan berkata, “Apa itu yang Mas Aji inginkan? Aku juga sudah mulai lelah dengan semua ini, Mas. Memikul tanggung jawab atas apa yang tidak aku lakukan. Aku sudah katakan berulang kali, apa pun keputusan Mas Aji, akan aku dukung sepenuhnya. Tapi, cobalah mulai sekarang Mas Aji menjadi diri sendiri. Bertanggung jawab atas apa yang Mas putuskan."
Baca Juga: Hati-Hati, Ada Pencurian Buku Nikah, Sudah Ribuan Buku Nikah Dicuri dan Dijual ke Jasa Kawin Kontrak
Puniawati yang lelah mulai tak dapat mengendalikan diri. Hari ini Aji mengatakan ingin berhenti kerja, esok dia akan mengatakan bahwa dirinya tak sanggup menjalankan bisnis, lalu esok hari kembali berubah.
Puniawati hampir tak dapat lagi mengikuti keinginan suaminya. Kesabarannya sudah di ambang batas menghadapi sikap suaminya, maka diputuskannya untuk mulai bersikap tegas menghadapi lelaki yang sekarang hampir tak dikenalnya itu.
Mendengar nada tegas Puniawati, Aji melembutkan ketegangan di wajahnya.
“Lalu, bagaimana dengan kehidupan kita nanti jika aku memutuskan berhenti kerja?” tanyanya kemudian.
"Maksud Mas Aji?"
"Ya, selama ini kan, kamu dan anak-anak sudah terbiasa hidup serba berkecukupan. Kalian ingin apa saja aku bisa penuhi. Semua keinginan kita dengan cepat dan mudah dapat terpenuhi.” Aji berhenti sebentar, menyeruput kopi.
“Apalagi kamu, dari kecil terbiasa hidup mewah. Hampir sepanjang masa hidupmu selalu bergelimang harta dan kemudahan. Sementara kalau bisnis, kita harus merintis dulu. Tentu saja kita harus hidup sederhana terlebih dahulu," lanjutnya.
Puniawati menghela napas, mencoba menekan sesak di dadanya sebelum berkata, "Mas, aku sudah bilang bahwa rezeki itu dari Allah. Artinya, bukan dari siapa pun juga, termasuk Mas Aji. Maafkan aku, bukan berarti aku tidak menghargai apa yang telah Mas Aji lakukan selama ini. Tapi, semua itu tidak pernah terlepas dari campur tangan Allah, Mas. Jadi kita kembalikan dan serahkan saja selanjutnya pada-Nya."
Wajah Aji memerah, entah murka atas ucapan istrinya, atau malu karena baru menyadari kesombongannya. Ditatapnya Puniawati lebih lama, ingin mencari, apa selanjutnya hentakan yang akan ditujukan Puniawati padanya.
Namun, tak ada apa pun di wajah itu. Mata Puniawati juga masih menatap dengan lembut, bibirnya masih penuh dengan senyum. Aji merasa malu dan segera melunakkan nada suara.
"Maafkan aku, Nin. Aku baru menyadari betapa sombongnya aku selama ini. Termasuk dengan sikap-sikapku yang lain. Maafkan aku, ya?"
Artikel Terkait
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Empat
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Lima, Rumah Kaca
Kopi Sore dan Timbunan Cinta Enam
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara
Novel Melukis Langit 2, Gumpalan Awan Hitam
Novel Melukis Langit 3, Pertemuan