***
Saat aku tiba di Lunar Café, Ferdi sedang duduk menghadap laptopnya. Ia memang nyaris tiap hari berkantor di Lunar Café. Pekerjaannya sebagai kreator konten memudahkannya berkantor di mana saja. Lagi pula, jarak kafe ini dan rumahnya hanya selemparan batu. Di meja yang ditempati Ferdi juga sudah tersedia dua cangkir kopi—satu masih utuh, satu sudah tinggal separuh—dan nampan berisi sisa kudapan onion ring.
Tanpa disuruh, aku menghempaskan diri di kursi. Ferdi menyodorkan sebungkus rokok sementara matanya masih menatap layar laptop.
“Five more minutes, Ru. Tanggung. Kamu minum dulu, tenangkan diri.”
Aku tidak menjawab. Kuambil sebatang rokok, menyulutnya, dan membiarkan tubuhku disusupi nikotin. Sebuah perasaan aneh muncul ketika nikotin mulai menyebar. Aku tidak lagi merasa panik.
“Jadi, ada apa?” tanya Ferdi sembari menutup laptopnya.
“Yuna,” balasku.
Ferdi meneliti wajahku. Lama sekali. Dua tangannya terlipat di meja. “Aku benci pikiranku, tetapi … sejak kapan?”
“Entahlah.”
Baca Juga: 'Jangan takut', kata pembawa berita TV Afghanistan yang dikelilingi oleh pejuang Taliban bersenjata
Kami diam selama beberapa menit. Setelah aku mematikan puntungnya, aku mengambil sebatang lagi. Kali ini Ferdi pun melakukan hal yang sama.
“Apa rencanamu setelah tahu hal itu? Berpisah dengannya?”
Aku menggeleng. “Belum. Aku belum memikirkan apa-apa, Fer. Aku masih terlalu kaget.”
Ferdi mengembuskan asap rokok ke samping. Ia menyesap sisa kopinya, lalu bicara lagi, “Kamu harus cepat membuat keputusan, Ru. Maksudku, jika kamu masih ingin mempertahankan Yuna, ajak dia bicara. Benar-benar bicara, Ru. Jangan sampai kamu terlambat. Aku tahu Yuna bukan perempuan yang sabaran. Aku bisa melihatnya begitu kamu mengenalkan Yuna padaku sebelum kalian menikah.”
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Satu
Dua Gelas Kisah Bagian Dua
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga
Dua Gelas Kisah Bagian Empat
Dua Gelas Kisah Bagian Lima