“Kurang, dong,” suara laki-laki menimpali. “Kamu, sih, minta buru-buru pulang ke Cirebon. Selalu dengan alasan anak-anak tidak ada yang jaga.”
Tunggu! Dengan siapa Yuna bicara?
“Sudah, ya, besok lagi video call-nya. Mataku lengket sekali,” suara Yuna lagi.
Oh, tidak! Ini sangat tidak bagus. Ingin sekali aku mendobrak pintu kamar mandi dan memergoki mereka berdua, tetapi aku terlalu lelah. Dan, ini sudah hari Kamis.
Baca Juga: Visitasi ke Desa Wisata Kampuang Minang Nagari Sumpu, Ini Kata Menparekraf
Aku kembali ke kamar anak-anak, memberikan boneka beruang kepada Kirana, dan menjatuhkan diri di sofa. Beruntungnya aku, tubuh ini memang sudah lelah luar biasa, jadi aku tidak sempat memikirkan kejadian barusan.
Baru pagi harinya, ketika duduk bersama di meja makan untuk sarapan, aku menanyakan soal telepon semalam kepada Yuna. Dan, jawaban Yuna adalah, “Biasa, soal pekerjaan. Ada rencana ke Bandung lagi minggu depan. Kasus sengketa rumah mewah.”
Mendengar penjelasan Yuna yang tak seberapa, aku seperti sudah tahu bagaimana akhirnya. Sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan pembicaraan itu, menanyakan lagi soal suara lelaki yang sempat kudengar, tetapi tak kulakukan. Apa aku terlalu takut? Sampai sejauh ini, tak terpikirkan olehku akan adanya sebuah perpisahan. Aku menikahi Yuna untuk seumur hidup, bukan seumur jagung.
“Memangnya semalam kamu masuk kamar, Ru?” tanya Yuna sambil tetap mengoles roti tawar dengan selai kacang.
“Iya, cuma buat ambil boneka Kirana yang tertinggal … di kamar kita.”
“Oh ….”
Sudah, begitu saja, tidak ada apa-apa lagi.
Selesai dengan rotinya, Yuna langsung berangkat ke kantor dengan mobil jemputan. Aku sempat melihat Yuna menaiki mobil itu. Sempat pula tertangkap mataku rupa pria yang berada di belakang kemudi.
Apakah itu pria yang semalam? Mengapa Yuna duduk di samping pengemudi? Mengapa tidak di kursi belakang?