Baca Juga: Bantuan Operasional Masjid dan Musala Senilai Rp 6,9 M, Pengajuan Paling Lambat 12 September 2021
Tiba-tiba Yuna sudah merapat ke tubuhku. Aku tidak menolak, tetapi ada sesuatu yang tidak biasa kurasakan.
“Kamu tidak rindu padaku, Ru?”
Aku tak menjawab, hanya tersenyum. Dan, Yuna pun kembali membuat jarak.
“Sesering apa pun kamu pergi, Yuna, atau selama apa pun kamu menjalani hari di tempat lain,” kataku, “aku ingin kamu selalu ingat Kirana dan Dira. Itu saja.”
Yuna menoleh. “Apa maksudmu?” Tatapan matanya amat tajam untuk seorang Yuna yang biasanya ramah.
Aku pun menoleh padanya. “Kamu pasti mengerti maksudku, Yuna.”
“Tidak! Aku tidak mengerti sama sekali, Ru.”
Baca Juga: Kemenag Akan Cairkan 300 Ribu Kuota Insentif Guru Madrasah Bukan PNS, Ini Kriterianya
Selanjutnya adalah khotbah terpanjang yang kubuat semasa hidupku untuk satu orang pendengar—Yuna. Kukatakan padanya, aku tidak pernah melarangnya pergi ke mana pun, dengan siapa pun. Aku sadar, pekerjaannya memang berhubungan dengan banyak orang dan berganti-ganti setiap waktunya. Aku sadar, aku bukan manusia super yang bisa menyediakan segala hal yang diinginkan Yuna. Jika ia ingin pria romantis yang kerap memberi hadiah atau kata-kata manis, aku tidak bisa. Aku pria yang realistis yang tak pernah berpura-pura romantis. Aku hanya sanggup memberi versi terbaik diriku untuknya. Jika itu dirasa belum cukup, aku tidak keberatan ia mencarinya di luar sana. Tentunya dengan syarat, ia harus menuntaskan urusannya denganku.
Cukup sederhana rasanya. Akan tetapi, Yuna meledak, alih-alih aku. Tanpa berkata apa-apa, ia sambar ponselnya dan mengetik sesuatu. Mungkin mengirim pesan untuk pria yang kerap menjemputnya. Yang kusadari setelahnya, Yuna kembali meninggalkan rumah pada pukul sebelas malam.