Di kalangan para sarjana Barat terdapat perbedaan teoritis ketika menjelaskan tuduhan Al-Qur’an bahwa orang Yahudi mengaku Uzair sebagai anak Tuhan. Seperti yang dikutip oleh J. Walker, Lidzbarski cenderung menegaskan kemungkinan adanya sekte Yahudi di semenanjung Arab yang memuja Uzair sedemikian rupa hingga tampak menuhankannya; tindakan yang membuat malu rekan ortodoks mereka. Kemungkinan bahwa Muhammad mengetahui keberadaan sekte Yahudi yang begitu mengagungkan sosok Ezra hingga menganggapnya sebagai malaikat, bahkan mungkin separuh tuhan, juga disebutkan oleh Michael Lodahl.
Namun, Lodahl segera mencatat bahwa “kita tidak perlu berasumsi bahwa orang Yahudi di tengah-tengah masyarakat Muhammad sebenarnya menyembah sosok Ezra atau bahkan menyematkan gelar “Anak Tuhan” – setidaknya dalam pengertian yang unik dan mistis. Kenyataan bahwa kata “Anak Tuhan”, yang secara bahasa berlaku untuk seluruh orang Israil, bukanlah hal yang tidak lazim dalam Tanakh.”
Kutipan di atas dari halaman 36-39. Saya kira tidak sulit untuk melihat bahwa saya sedang mendiskusikan pandangan kesarjanaan seputar pertanyaan yang saya ajukan di awal paragraf. Saya heran kenapa Sdr. Nuruddin gagal memahami ini. Setelah mendiskusikan pandangan mereka, saya mengajukan pandangan saya pribadi (halaman 41) sebagai berikut: “Penulis berpendapat bahwa jika kita memahami pernyataan Al-Qur’an sebagai bersifat polemis, mungkin persoalan ambiguitas dan ketidakakuratan bisa dikesampingkan.
Seperti yang telah kita ketahui, tulisan-tulisan polemik dimaksudkan bukan hanya untuk membuktikan sudut pandang tertentu, tapi juga untuk membuktikan kekeliruan sudut pandang lainnya meskipun harus dengan cara mengubah penggambarannya agar pandangan mereka tidak mungkin diterima. Polemik berkembang subur dalam sebuah lingkungan komunal tertentu ketika para anggotanya membutuhkan jaminan psikologis bahwa pemahaman mereka terhadap realitas adalah yang paling benar. Sikap psikologis semacam itu menjangkit semua kalangan yang berada dalam situasi polemis, jadi bukan sekadar perbedaan dalam berbagai keyakinan mereka. Polemik kitab suci juga mencatat ketegangan dan perselisihan seputar peristiwa dan waktu tertentu pada masa awal pembentukan agama.” Dan seterusnya…
Coba lihat, saya justeru menolak anggapan al-Qur’an itu salah paham. Tentu saya tidak menghujat para sarjana yang pandangannya saya tidak setuju. Saya ingin mendiskusikan pandangan-pandangan mereka dengan kepala dingin. Oh iya di luar rumah saat ini lagi banyak salju. Bukan hanya kepala yang dingin tapi sekujur tubuh!
Di bagian lain buku saya itu, saya mendiskusikan pandangan sarjana yang secara tegas menyebut al-Qur’an salah paham, kemudian saya ajukan argumen menolaknya. Baca halaman 298 sebagai berikut: “Sarjana lain bahkan berpendapat lebih jauh dengan mengatakan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh kekeliruan pemahaman tentang makna dari doktrin Trinitas karena dikaburkan dengan Triteisme. Seperti yang dikemukakan oleh Chawkat Moucarry, “Apa yang sebenarnya dibantah Al-Qur’an adalah kesalahan konsepsi tentang Trinitas.” Namun, penggunaan kata “kekeliruan konsepsi” mungkin terlalu tajam. Mungkin juga orang Kristen sendiri memiliki konsepsi yang berbeda tentang Trinitas daripada yang kita pahami saat ini, jadi itu sama sekali bukan kesalahan pemahaman.”
Saya kira ini sudah cukup jelas ya. Darimana bisa disimpulkan bahwa saya berpendapat ada miskonsepsi dalam al-Qur’an? Apa kalimat-kalimat saya kurang jelas? Bagaimana mungkin Sdr. Nuruddin tidak memahami posisi saya?
Dalam status Facebooknya yang sama, Sdr. Nuruddin juga menuduh saya berpendapat bahwa al-Qur’an adalah buatan Nabi Muhammad. Bahkan, statusnya diberi judul “Buatan Nabi Muhammad?” Bagian yang distabilo berbunyi begini (halaman 34): “Namun, hal ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan bersifat polemis terhadap komunitas agama lain. Bahkan di tengah-tengah perdebatan sengit dengan orang Yahudi dan Kristen, Nabi Muhammad masih menganut pandangan ekumenikal bahwa para penganut monoteis yang beramal sesuai dengan perintah agamanya dianggap seperti orang Islam: mereka tidak akan merasa takut pada hari Pembalasan.”
Lagi-lagi, saya betul-betul gagal paham kenapa kalimat di atas menggiring Sdr. Nuruddin untuk berkesimpulan bahwa saya memandang al-Qur’an sebagai buatan Nabi Muhammad. Sebenarnya, bagian yang distabilo Sdr. Nuruddin itu justeru menegaskan pandangan saya yang (masih) cukup tradisional. Yakni, mencoba memahami al-Qur’an dengan melihat fase-fase kehidupan Nabi. Dalam kalimat-kalimat setelah bagian yang distabilo Sdr. Nuruddin, saya mengutip ayat 62 surat al-Baqarah/69 surat al-Ma’idah, untuk menegaskan bahwa dalam fase-fase akhir kehidupan Nabi pun al-Qur’an masih mengajarkan teologi inklusif. Dengan pemaparan itu saya hendak berargumen menolak teori abrogasi atau naskh.
Dalam pandangan tradisional, mempelajari kehidupan Nabi itu penting untuk memahami al-Qur’an. Karenanya para mufassir klasik mengembangkan sebuah genre khusus, disebut “asbab al-nuzul” (sebab-sebab turunnya al-Qur’an). Karena koneksi biografi Nabi dan al-Qur’an demikian tak terpisahkan, maka tak sulit untuk memahami bahwa pandangan dan ajaran Nabi sesuai dengan kandungan al-Qur’an.
Bagi teman-teman yang menggemari tulisan ustadz Nuruddin, terutama terkait kritik-kritiknya terhadap buku saya, mohon bandingkan kritiknya itu dan buku saya langsung. Saran saya, jangan cukup hanya membaca tulisannya, karena – seperti saya telah tunjukkan di atas – Sdr. Nuruddin cenderung mencomot poin-poin dari buku di luar konteks atau membuat suatu kesimpulan yang sama sekali berbeda dari pandangan saya sendiri.
Itu sekadar saran. Dan saya cukupkan jawaban saya di sini. Saya tak perlu membuat tanggapan lain. Silakan para pembaca menilai argumen yang saya kembangkan dalam buku2 saya dan membandingkannya dengan status Facebook ustadz Nuruddin.
Silakan jika ingin menyebarkan jawaban saya ini. Salam semua!***
DISCLAIMER: Artikel ini merupakan status yang ditulis oleh Mun'in Sirry, Profesor di Universitas Notre Dame, Indiana, di dinding facebooknya, dan klikanggaran sudah meminta izin untuk mempublishnya
Artikel Terkait
Kata Kuntowijoyo, (Laki-Laki) 'Dilarang Mencintai Bunga-Bunga', ketika Ayah Menjadi Pusat Hidup
Mengapa Artikel Non Fiksi yang Ditulis Para Pegiat Fiksi Cenderung Lebih Enak Dibaca?
SD IT atau SD Negeri? Ketika Orang Tua Harus Memilih Pendidikan Dasar
Mengapa Anda Memilih Profesi Sebagai Guru? Apa sih Prestise Seorang Guru?
Jangan Stigma Negatif Pesantren
Mengapresiasi Tidak Perlu Menyunat Vonis Kasus Korupsi
Menolak Penundanaan Pemilu 2024, Menolak Presiden 3 Periode untuk Mencegah Potensi Korupsi