MBOK GINAH, LEO KRISTI DAN YEHUDI MENUHIN (1)

photo author
- Kamis, 21 Oktober 2021 | 22:14 WIB
Ilustrasi (Ilustrasi/Dodi)
Ilustrasi (Ilustrasi/Dodi)


Malam itu bulan purnama penuh.


Sinarnya yang keperakan menerobos di sela-sela dedaunan mangga yang meranggas. Pucuk-pucuk daun bambu petung seperti ujung pena riang berlomba mencucuki langit.

Suara jengkerik dan serangga malam berkelindan dengan desau angin yang mengelus entah berapa jenis dedaunan di kebun belakang kami.

Selain mangga golek dan rumpun bambu, di ujung kebun yang berbatasan dengan sebuah kali kecil ada kedondong dan kersen, setelah itu kelapa, jambu gelas, duwet, srikaya pathek, kluwih dan blimbing wuluh. Sebagai pagar, berjejer mahoni, pinang dan jarak.

Baca Juga: Gregoria Mariska Belum Mampu Kalahkan Akane, Praven/Melati Melaju ke Perempat Final Denmark Open 2021


Lamat-lamat masih kuingat apak kain jarik yang membalutku, bercampur bau penguk dan wangi sabun Cap Tangan tubuh Mbok Ginah, membiusku memasuki alam sonya-ruri, antara jaga dan tidur.

Kemudian dimulailah pertunjukan musik semesta itu. Prolognya begini: tiba-tiba saja kebun sepi, jengkerik dan serangga malam mendadak diam, demi mendengar suara Mbok Ginah. Hanya suara angin malam.

Sejurus kemudian ketika ia lantunkan lagi tembangnya, beberapa jengkerik mulai berani bersuara. Setelah itu, satu-dua mulai saling menimpali dan akhirnya mereka bersuara full-orchestrakembali.

Baca Juga: Terus Diserang, Kini Pasangan Lesti Kejora dan Rizky Billar Dapat Ancaman Santet dari Haters

Sementara suara Mbok Ginah sudah sepenuhnya menguasaiku dan mengantarku ke langit. Airmata pun meleleh hangat di pipiku.


“Allah Akbar ! Alhamdullilah, Gus, Alhamdullilah”, bisik Mbok Ginah, disekanya airmataku dengan ujung tapihnya. Ia menciumku dan memelukku lebih erat. Aku berhutang doa dan kemesraan pada wanita sederhana yang mulia ini.


Jika engkau mengira aku menikmati tembangnya waktu itu dengan telingaku, engkau salah besar. Bukan begitu kejadiannya. Aku tidak mendengarkan, melainkan sepenuhnya menyerahkan diriku pada suara tembang wanita tua itu.

Baca Juga: Denmark Open 2021: Mampukah Jonatan Christie Kalahkan Kento Momota dan Melaju ke Semifinal?

Juga pada suara jengkerik, juga pada suara desau angin... Kemudian mereka bersama-sama membawaku membumbung ke langit yang sudah berubah corak dan warna. Entahlah, mungkin juga karena aku telah lelap dalam mimpi.


Pada usia SD, aku terbiasa mendengarkan musik yang diputar ayahku setelah subuh. Beragam. Mulai Fausto Papeti, Areta Franklin, Pat Boone, Jim Reeves, Frank Sinatra, hingga Tety Kadi, Emilia Contesa dan serial keroncong keluaran Lokananta, Solo.

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Bukan Puisi, Hanya Opini

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muslikhin

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X