Cerbung Kabut Pembatas Dua Dunia

photo author
- Jumat, 17 Desember 2021 | 20:05 WIB
Cerbung: Kabut Pembatas Dua Dunia (Dok.pexels.com/BobPrice)
Cerbung: Kabut Pembatas Dua Dunia (Dok.pexels.com/BobPrice)

KLIKANGGARAN – Selamat malam, pembaca. Bertemu saya lagi dengan cerbung dan puisi. Cerbung ini bagian dari buku lama saya berjudul Jejak.

Saya tayangkan kembali di sini sebagai cerbung agar pembaca bisa juga menikmatinya. Semoga dapat menemani pembaca mengisi sisa hari ini.

Seperti biasa, tiap cerbung saya awali dengan puisi. Saya berharap puisi-puisi itu bisa sedikit mewakili isi cerita, tentu aja dengan diksi dan rima berbeda.

Cerbung berjudul Kabut Pembatas Dua Dunia ini berkisah tentang seorang gadis yang berdiri di pintu pembatas. Dia bertemu dengan seseorang yang ingin menjadi bagian dari dirinya. Untuk apa? Silakan baca kisahnya.

*

Baca Juga: Pernah Terjerat Narkoba, Imam S Arifin Wafat di Hari yang Mulia

terpuruk di antara puing-puing cinta
mencoba tegak berdiri dalam alunan rindu
sampai batas waktu dentingkan irama syahdunya
hempaskan kesadaran dari tidur panjang dalam cinta bisu
kabut pembatas iringi langkah hati mencari cinta
dan kutemukan serpihan bayangan cinta
di antara lembut buaian malam
namun tak dapat kuraih
dan semakin jauh
lalu hilang

bersama kabut pembatas di pekat malam
antara hitam dan hitam mawarku
terlihat yang tak harus kulihat
ada yang suara dari balik kabut pembatas
kembali kurasakan rintihan di sana
memanggil satu pintu hati
ikut merasakan cinta dan rindu
sampai tiba-tiba terjaga dalam penantian
wajahmu masih saja terhalang kabut pembatas
tak dapat kuraih dan aku masih sendiri

*

Baca Juga: Stt! Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Larang Warganya Tertawa Selama 11 Hari

Stasiun kereta yang tidak terlalu jauh dari rumahnya itu tampak semakin dekat. Kali ini dia tempuh dengan berjalan kaki dari rumahnya menuju ke sana. Menyisir angin sore adalah hal yang menyenangkan buat gadis lincah itu.

Membuang gelisah hati pada sepoi angin adalah yang terakhir buatnya. Setelah sepanjang malam tekun menatap wajah tak jelas dalam tiap mimpinya. Wajah yang selalu datang menyapa dengan senyum hangat.

“Nanti sampai di Jakarta telepon Mama, ya, Sayang,” pesan mamanya sebelum gadis itu melambaikan tangan untuk salam perpisahan.

Begitulah selalu, seperti yang dilakukannya pada setiap akhir bulan, saat dia pulang melepas rindu pada kedua orang tuanya. Mayang sore itu berpamitan untuk berjalan kaki saja menuju stasiun kereta.

Halaman:

Artikel Selanjutnya

Cerbung: Cicak Jatuh di Halaman

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kitt Rose

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Mirwa dan Lautan

Jumat, 11 April 2025 | 08:17 WIB

Nala, si Pemalas

Rabu, 27 November 2024 | 13:54 WIB

Si Kacamata Hitam dan Pengamen Jalanan

Rabu, 27 November 2024 | 06:49 WIB

Peristiwa Aneh di Rumah Nenek

Minggu, 24 November 2024 | 17:06 WIB

Elena Valleta: Si Putri Hutan

Minggu, 24 November 2024 | 09:01 WIB

Melodi yang Tidak Selesai

Jumat, 22 November 2024 | 07:04 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Mempelai Dua Dunia

Kamis, 24 Oktober 2024 | 22:52 WIB

Horor Malam Jumat Kliwon: Rumi di Bukit Terlarang

Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:11 WIB
X