Aku hanya bisa terdiam, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kering ini. Karena tenaga ini sudah terkuras untuk menggerakkan badan kurus.
Aku semakin bingung. Jika wanita itu selalu rugi berdagang, kenapa aku yang jadi pelampiasan? Jika dia ada masalah dengan sang suaminya yang mungkin selingkuh atau ‘main’ dengan penjaja cinta di depan stasiun, kenapa aku yang mendapat getahnya? Apakah ini wajah orang Indonesia yang sesungguhnya?
Anganku kembali teringat-ingat masa lalu. Mengapa diri ini terdampar di kota besar seperti ini. Kampung halamanku jauh di pelosok Plered, Bantul sana.
Aku sebenarnya memiliki kenangan buruk dengan desaku sendiri. Desa yang telah merenggut nyawa Bapak. Hanya karena Emak yang waktu itu sedang mengandung saja, akhirnya aku diperbolehkan muncul ke dunia di desa yang juga desa kelahiran Bapak dan Emaknya itu.
Selang beberapa tahun setelah kematian Bapak, akhirnya aku mengetahui jika Bapak sebenarnya bukan seorang komunis sejati. Ketika aku umur 17 tahun akhirnya Emak bercerita kisah yang sesungguhnya.
“Le, bapakmu seorang guru ngaji.”
Betapa kaget aku ketika itu. Pikiranku tentang Bapak yang seorang komunis telah memenuhi seluruh isi kepala kecilku waktu itu.
“Dan, Ustadz Joko itu adalah orang yang dititipkan bapakmu, untuk mendidik agama kepada kamu.”
Baca Juga: Menidaklanjuti Hasil Rakor Gubernur Jambi Al Haris Tinjau Jalan Alternatif Batubara
Emak kembali mengisahkan jika sebenarnya Ustadz Joko pun setiap hari menerima teror dan ancaman. Maka itu Ustadz Joko hanya tinggal sebatang kara desa ini, karena beliau meninggalkan keluarganya di kota. Namun, janjinya untuk membesarkan aku ditepatinya.
“Emak harap kamu menjadi apa yang diinginkan bapakmu dulu, menjadi seorang yang bisa berguna untuk akhirat. Dahulu ustadz Joko dan bapakmu berpikiran jika sudah tidak ada keadilan di dunia ini, makanya mereka berdua berusaha keras untuk menjadikanmu ahli surga.” Aneh pikirku, mengapa kejadian yang hanya terjadi di bangsa ini, tapi bapak dan ustadz Joko berpikiran dunia ini tidak adil? Mungkin belahan dunia lain masih ada keadilan.
“Bajingan tengik....!!! Kalo jalan pake mata jangan pake dengkul, untung enggak ketabrak lo” Suara yang begitu nyaring membangunkan lamunanku. Aku sendiri tidak sadar mengapa aku sudah berada di tengah jalan ini. Semua mata memandang kepadaku, seolah-olah aku adalah seorang yang melakukan kesalahan besar bagi kepentingan mereka.
“Eh, setan...!! Malah diem lagi lo. Minggir sana, gua sudah telat ke kantor nih. Gila...” Orang yang tadi masih marah-marah sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak klop dengan jas safari yang digunakannya. Heran aku, mengapa orang yang berpenampilan rapih dan bersih seperti itu hatinya masih kotor.
Baca Juga: Jerman Menangguhkan Proses Sertifikasi Nord Stream 2 hingga Harga Gas Merangkak Naik
Artikel Terkait
Monolog Sepatu Bekas
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3
Cerpen: Ternyata Kau Bukan Lelaki
CERPEN: Kisah Seorang Santri
CERPEN: One Only
Hari Ayah dan Kado Cerpen Sang Ratu
CERPEN: Ketika Bila bertanya, 'Bu, Ayah Itu untuk Apa Sih?'