Dia begitu menikmati getaran sakit dan marah, menyatukannya dengan bening sang tirta, berharap hatinya selesai saat itu juga. Dia masih ingat pernah berjanji memaafkan kesalahan suaminya, maka dia tak ingin marah.
Merasa lelah, Puniawati berdiri sambil menunduk di bawah guyuran air shower. Kedua tangannya memegangi dinding yang juga terasa dingin, air mata hangat hampir panas mengalir deras menyatu dengan air dingin di pipinya.
Dia hanya tahu aku sudah menjalankan tugasku dengan baik. Dia hanya tahu aku selalu tersenyum dan semua terlihat baik-baik saja. Dia hanya tahu aku dapat memuaskannya di tempat tidur.
Baca Juga: Cargo Ducati Terbongkar, Karyawan Sirkuit Mandalika Pun Dipecat, Tindakan Konyol Demi Konten?
Dia tak pernah bertanya apakah aku bahagia, tak pernah bertanya apakah aku suka dengan caranya memperlakukanku, tak pernah menjelaskan apa yang dilakukannya di luar sana. Dia lupa aku ini manusia punya hati dan pikiran juga perasaan.
Bahkan dia lupa pada janji-janji untuk tak mengulangi kesalahannya. Aku benci dia, aku benci! jerit Puniawati dalam hati, tanpa suara, kemudian melanjutkan menggosok tubuh.
Tok. Tok. Tok.
"Nyah, ada tamu." Suara Surti di balik pintu setelah mengetok beberapa kali.
Puniawati menelan ludah, menghentikan tangisnya sebelum bertanya, "Siapa?"
"Bu Ade, Nyah."
"Suruh tunggu sebentar," jawab Puniawati berusaha membuat suaranya sewajar mungkin agar isak dan sedih tak dikenali sang pembantu.
Dikeringkannya badan dengan handuk hitam sambil menjerit di kedalaman hati. Aji, apakah sama rasanya saat kamu memeluk perempuan itu, atau lebih nikmat? Aku tahu, aku tak boleh marah, tapi aku benci membayangkan kamu meraba tubuhnya! Masih harus berapa tubuh lagi ingin kamu nikmati?
*
Baca Juga: Pelaksanaan Angkutan PTDS Kontainer, Pupuk Kaltim Kehilangan Kesempatan Berhemat Rp1 Miliar
Puniawati melangkah keluar kamar. Rambut hitam dan panjang dibiarkan tergerai, pakaian dan dandanan sederhana, tapi anggun dan rapi, membuat tamunya tak ingin melepas tatapan mata darinya. Sorot kagum berbaur cemburu jelas tercipta dari tatapan itu.
Artikel Terkait
Novel Melukis Langit 1, Memeluk Prahara
Novel Melukis Langit 2, Gumpalan Awan Hitam
Novel Melukis Langit 3, Pertemuan
Novel Melukis Langit 4, Keputusan
Novel Melukis Langit 5, Perselingkuhan
Novel Melukis Langit 6, Kenyataan Pahit
Novel Melukis Langit 7, Cintanya Ditelan Laut