“Nah, ya udah, sama Rama aja.”
“Tadi kamu bilang apa? cintaku bersambut? Tahu dari mana kamu soal cintaku?”
Baca Juga: Rekreasi Pagi tentang Misteri Cindaku, Werewolf versi Indonesia?
“Aku liat kamu suka blingsatan gitu tiap deket Rama.”
Ratih diam.
“Udah, sama Rama aja. Ganteng pula orangnya. Kalau kamu nggak bertindak sekarang keburu ilang dia. Beberapa bulan lagi udah wisuda kan, dia.”
”Aku memang sering salah tingkah tiap deket dengannya, tapi dia juga masih dengan sikap yang sama dari sejak kita pertama bertemu.”
“Namanya juga belum akrab, Tih.”
Ratih menunduk lagi, menekuni buku yang tak ingin dibacanya dan mencoba menenangkan hati yang tiba-tiba menjadi galau. Diliriknya Rama sedang bersandar pada tiang. Seperti biasa, dengan sikap acuhnya.
Baca Juga: Gubernur BI: Vaksinasi Adalah Game Changer bagi Pemulihan Ekonomi Nasional
“Rama memang terlihat sangat acuh, bahkan seperti tak perduli dengan sekitarnya, tapi aku yakin, pasti dia memiliki cinta seperti yang sedang kau rasakan.”
“Kalau dia ingin membagi cintanya denganku, pasti dia sudah mengatakannya padaku, Vi. Aku tak mau berhenti di persimpangan yang akan membuatku tak pernah melangkah.”
“Jangan putus asa gitu, dong. Coba kamu yang membuka pintu dulu.”
“Aku perempuan Vi.”
“Trus, kenapa kalau perempuan?”
Artikel Terkait
Monolog Sepatu Bekas
Cerpen: Wanita Jalang
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Satu
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Dua
Novel: Kopi Sore dan Timbunan Cinta Bagian Tiga