“Dan, aku juga tahu namamu dari teman yang kebetulan mengenalmu.” Moy kembali murung. Katanya lagi, “Lanjutkan saja ceritamu, Ru. Aku ingin tahu seperti apa pria yang menjemput Yuna pagi itu?”
Ah, Moy. Aku belum ingin sampai di titik itu.
***
Aku betulan tidak masuk kerja. Aku bahkan sempat menyuruh pulang pengasuh anakku. Padahal, perempuan tengah baya itu tidak keberatan menjaga anak-anak sementara aku beristirahat. Kata Bu Imah, wajahku amat lusuh dan butuh tidur pengganti yang lama. Aku menuruti perkataan Bu Imah. Aku memang butuh tidur setelah malam yang melelahkan.
Aku memandang anak-anak yang tengah bermain di rumah tengah. Televisi besar menyala tanpa suara dan menampilkan kartun Spongebob. Kirana asyik menonton, sementara Dira tampak sibuk dengan sekardus mainannya.
“Nanti saya bangunkan kamu kalau ada apa-apa, Ru. Mereka biasanya tidak terlalu rewel jika sudah makan dan minum susu.”
Itu kalimat terakhir yang kusimak dari Bu Imah tepat sebelum aku memasuki kamar. Tak lupa kuucapkan terima kasih untuk wanita yang sudah dua tahun belakangan menjadi pengasuh Kirana dan Dira.
Baca Juga: AS menyelesaikan penarikan pasukan dari Afghanistan. Akhiri misi 20 tahun kendalikan Afganistan
Berbaring di ranjang bisa menjadi sangat aneh jika sendirian. Aku terbiasa bersama Yuna di ranjang ini. Sekarang aku hanya nyalang menatap langit-langit kamar. Rasa lelah dan mengantuk yang tadi seperti sulit ditahan, sekarang seolah-olah lenyap. Ini baru pukul sembilan lewat dua puluh. Masih terlalu pagi untuk sebuah tidur siang. Aku melihat ke arah kursi di samping lemari. Ada tas Yuna di sana. Tas yang dipakainya kemarin.
Biasanya aku tidak pernah penasaran dengan barang-barang Yuna, tetapi tidak untuk kali ini. Aku bangkit, meraih tas itu, dan kembali duduk di tepi ranjang. Tas itu cukup besar untuk menyimpan beberapa potong baju, tetapi cukup ringkas untuk dibawa bepergian seorang diri. Benda itu tampak kosong, semua baju kotor sudah dikeluarkan dari sana. Akan tetapi, masih ada beberapa kantong kecil yang memancing rasa ingin tahuku. Lima kantong, dan semuanya aman. Beberapa lembar uang ribuan serta uang logam, nota-nota belanja, kertas-kertas catatan entah apa, sebungkus permen mentol, ikat rambut, dan karcis parkir bekas. Hanya saja, perasaanku masih tidak enak.
Baca Juga: Perang Telah Berakkhir: Amerika Serikat Kalah Perang, Tarik Pasukannya dari Afganistan
Kantong-kantong yang baru saja kuperiksa letaknya di bagian luar tas. Aku tahu, tas wanita selalu memiliki satu atau banyak kantong rahasia di bagian dalam. Jadi, aku membukanya, mencari-cari, dan menemukannya. Satu kantong. Di dalamnya ada sesuatu, dan aku sungguh membenci dugaanku.
Semesta tampaknya belum ingin berbaik hati padaku. Mungkin masih jauh. Aku belum layak mendapat ketenangan, malah baru saja disuguhi getir. Aku menemukan beberapa bungkus kondom di kantong itu. Pertanyaannya: untuk apa Yuna membawa kondom—banyak sekali kondom!—selama bepergian ke luar kota yang katanya untuk mengurus pekerjaan? Aku ingin sekali berpikiran positif, tetapi tidak bisa. Yuna bukan pengacara perkara kriminal. Klien-klien di firmanya kebanyakan perusahaan-perusahaan besar dengan perkara ini-itu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan aktivitas bertukar cairan tubuh. Jadi, untuk apa kondom-kondom ini? Mengapa tidak pria di telepon saja yang menyimpan kondomnya? Mengapa harus Yuna yang membawanya? Mengapa harus istriku yang menyimpannya?
Aku mulai kacau. Aku butuh bicara dengan Ferdi.
Artikel Terkait
Dua Gelas Kisah Bagian Satu
Dua Gelas Kisah Bagian Dua
Dua Gelas Kisah Bagian Tiga
Dua Gelas Kisah Bagian Empat