Hidup terus berjalan, waktu terus bergulir. Meski Dez kerap mengingatkanku bahwa bahagia yang kekal adalah saat ini, aku sadar, putih tidak mungkin hadir tanpa hitam. Aku sudah membuktikannya, bahkan ketika orang-orang menjauhkan hitam dariku.
Aku pulang karena pekerjaan. Akan tetapi, David tahu, aku butuh dari sekadar pulang. Aku butuh memulihkan diri. Maka, di sinilah aku, dalam dekapan Dez.
Yang hangat.
Yang selamanya.
Baca Juga: Seorang Jurnalis AS Mengatakan Seharusnya yang Meninggal Ratu Elizabeth, bukan Betty White
***
Mata Em terbuka. Aku tahu tidurnya tidak begitu nyenyak, meski aku tidak lepas mendekapnya.
“Kamu boleh tidur lagi, Em. Aku tidak ke kafe hari ini. Biar rekanku yang menggantikan.”
Em menggeleng. Ia kembali merapatkan diri kepadaku. Sejenak, bahunya berguncang pelan. Isaknya tertahan.
“Lepaskan semuanya, Em. Lupakan semua. Maafkan siapa pun yang pernah menyakitimu. Maafkan mereka. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka tidak sadar. Maafkan mereka.”
Bahu Em makin berguncang. Isaknya kini terdengar jelas. Aku tetap mendekapnya.
***
Kujauhkan kepalaku dari dada Dez. Aku hapus air mata dan Dez membuatnya jadi mudah. Aku atur napasku seperti yang pernah Dez ajarkan. Lalu, aku mulai bicara.