"Tentu saja bisa, Sayang. Apa Bunda pernah melarangmu ke sana? Bunda sudah berjanji pada Nenek, kamu akan menginap di sana setiap akhir pekan," jawab Teratai sambil memeluk putri bungsunya.
"Tapi, Ayah nggak pernah pulang lagi dan Bunga sekolah sampai menjelang sore. Kakak Agita juga. Apa Bunda nggak kesepian kalau tiap akhir pekan ditinggal?"
"Ayah, kan, harus bekerja di tempat yang jauh, Sayang. Nanti kalau Ayah sudah nggak sibuk pasti pulang."
"Nanti kakak nggak nginep, deh, biar bisa nemenin Bunda," sela Agita.
"Nggak usah. Kalian menginap di rumah Nenek saja, Bunda nggak apa-apa. Lagi pula, akhir pekan besok rumah makan kita yang baru sudah mulai dibuka. Pasti Bunda akan lebih sibuk dari biasanya tiap akhir pekan. Jadi, Bunda nggak akan kesepian."
~
Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinyatakan Inkonstitusional, FSPPB: Putusan MK Ini Menjadi Pelajaran Penting
Seperti biasanya, sepulang dari mengantar kedua putrinya ke rumah ibunya, Teratai berhenti di sebuah toko kelontong di perbatasan desa. Dia ke sana untuk berbelanja keperluan selama satu minggu. Sambil memilih barang-barang yang hendak dibeli, sudut matanya mengawasi sebuah rumah di seberang toko.
Tak seperti biasanya, rumah itu kali ini kelihatan ramai. Di teras ada beberapa ibu dan anaknya sedang bercengkerama dan bersenda gurau. Dilihatnya Samurai dan istrinya sesekali keluar untuk menemani mereka.
Teratai menikmati pemandangan itu sambil menekan desir halus di hatinya. Ingin dia berlari ke sana dan menyatukan diri dalam kebahagiaan yang pernah ditawarkan padanya.
"Kenapa, Bu?" tegur pemilik took mengejutkan Teratai.
"Oh, nggak apa-apa, Bu." Buru-buru menghapus air mata.
"Kok, menangis?"
"Melihat mereka, saya jadi kangen sama anak-anak saya yang sedang bersama neneknya. Ada apa, ya? Kenapa di rumah itu ramai sekali?"
"Oh, itu, putra bungsu Pak Samurai berulang tahun yang pertama. Mereka mengadakan kenduri, teman-teman dan ibunya diundang."