KLIKANGGARAN – Prahara atas nama cinta masih bergejolak di dalam novel Melukis Langit. Bukan soal perselingkuhannya, tapi cara kita menyikapinya adalah hal paling penting.
Novel Melukis Langit masih mengasah Puniawati untuk bisa mengatasi prahara dalam hidupnya. Setelah melewati kemelut dalam pekerjaan suaminya, kini persoalan lain dihadapi Puniawati.
Apa yang akan disajikan novel Melukis Langit mengenai hal ini? Dapatkah Puniawati mengatasi perasaannya? Bagaimana pula sikap Aji selanjutnya?
Yuk, meluncur ke novel Melukis Langit bagian sepuluh. Semoga pembaca menemukan sesuatu di dalamnya.
∞
Baca Juga: Anda Hobi Menulis? Kata Apa Saja, ya, yang Tak Perlu Ditulis Kapital di Judul?
Aji menatap penuh penyesalan punggung istrinya yang bergetar, perlahan menghilang di balik pintu kamar. Penyesalan itu mengintip dengan lembut ke dalam hatinya. Dibiarkannya air mengalir dari matanya yang garang dan berkuasa selama ini.
Diraihnya seragam berwarna merah menyala yang sudah tak asing baginya itu, lalu ditatapnya dengan penuh kebencian dan penyesalan seragam itu. Seragam itu saat ini membuatnya merasa, seolah akan kehilangan istri yang sangat dicintai sekaligus dikaguminya.
Tiba-tiba matanya melihat secarik kertas terselip dalam lipatan seragam. Serta merta Aji membuka plastik pembungkus seragam itu dan diambilnya secarik kertas yang terselip di antaranya.
Baca Juga: KMAKI Soroti Carut Marut Keuangan BUMD SP2J Palembang, Bisa Jadi Berujung Pidana
Maafkan aku Mas,
Aku melakukan ini karena aku mencintaimu, lebih dari cintaku pada diriku sendiri. Tapi, aku bukan Lindamu itu dan tak hendak menjadi dirinya. Kalau Mas Aji lebih memilih dia, berikan seragam ini padanya dan biarkan aku sendiri untuk sementara waktu, sampai aku dapat menghadapimu lagi dengan tanpa amarah dan kekecewaan. Sampai aku dapat menerima dirimu apa adanya. Sekali lagi maafkan aku. Aku tidak tahu lagi bagaimana sikap yang lebih sopan untuk mengungkap ini semua.
Nini
Aji melempar bungkusan seragam ke keranjang sampah di pojok ruangan. Air matanya makin deras mengalir. Penyesalan tak terhingga membuat langkahnya limbung mengejar Puniawati. Dan, semakin tak kuasa lelaki itu menegakkan kaki tatkala dilihatnya Puniawati sedang bersimpuh di atas sajadah di pojok gelap kamar mereka.