Puniawati mengabaikan itu, kepalanya masih sedikit berdenyut karena pengaruh alkhohol semalam. Diambilnya toples kudapan kesukaan Bu Ade di meja sudut dan diletakkannya di meja tamu.
"Selamat siang, Nini. Maaf, mengganggu, ya?" sapa tamunya.
"Tidak mengganggu, Bu. Santai saja. Ini, buah kering kesukaan Bu Ade."
“Makasih, Nin. Sayangnya saya sedang nggak pengen ngemil." Tertawa.
Puniawati duduk di seberang tamunya sambil mencoba tersenyum ramah.
“Ssst, yang habis sunah Rasul bangun siang, nih," bisik Bu Ade menggoda, untuk mencairkan suasana yang sebenarnya sudah cair oleh senyum ramah nyonya rumah.
Baca Juga: Dugaan Korupsi PCR, CBA: Lingkaran Luhut Ramai-Ramai Pasang Badan
"Ibu bisa saja." Puniawati menjawab malu-malu. "Sebenarnya saya sudah bangun dari tadi, tapi masker dan lulur cukup menyita waktu, jadi baru selesai mandi." Puniawati merasa, itu jawaban paling pas.
"Ini, lho. Saya bawa emping manis kesukaan Nini, sekalian mau memberi kabar, suami saya sudah sembuh." Bu Ade mengangsurkan bungkusan di pangkuannya ke tangan Puniawati dengan wajah berseri.
Puniawati berdiri menerima bungkusan sambil menjawab sungkan, "Harusnya nggak perlu repot begini, Bu. Alhamdulillah kalau Pak Ade sudah kembali pulang. Allah sungguh menyayangi keluarga Ibu...."
"Eh," potong Bu Ade. "Jangan ditolak, itu oleh-oleh dari Semarang asli lho, saya sendiri yang memilihnya untuk Nini."
"Wah, Ibu dari Semarang? Dalam rangka apa, nih?"
Baca Juga: Dugaan Korupsi Formula E, LSAK: TGUPP Harus Lakukan Pencegahan, Bukan Terkesan Pembelaan
Puniawati bertanya sambil berjalan lagi ke meja sudut meletakkan bungkusan oleh-oleh, lalu kembali duduk sambil memasang senyum penuh minat.
Senyum itu kali ini tidak dibuat-buat. Puniawati selalu merasa ikut bahagia saat teman-temannya bahagia, seolah kebahagiaan itu juga untuk dirinya. Ditatapnya Bu Ade dengan penuh minat.