Mobil ford pun meluncur menuju tol Jakarta-Cikampek. Terakhir aku ke Kuningan masih melewati jalur pantura. Kali ini dari tol Jakarta - Cikampek langsung menuju gerbang tol Cikopo-Palimanan (Cipali). Katanya akan lebih menghemat 3 jam dengan menggunakan tol Cipali ini dibandingkan melalui jalur pintura. Wajar saja jika tiket tol Cipali cukup mahal.
Perjalanan yang cukup membosankan hingga kantuk melanda. Ini mungkin dikarenakan jalan yang lurus terus dalam waktu berjam-jam. Kami mampir sebentar di rest area untuk sekedar minum kopi menghilangkan kantuk.
Akhirnya, kulihat tulisan gerbang tol Ciperna. Aku mengarahkan mobil Fordku keluar gerbang tol tersebut. Tak terasa sudah sampai Kuningan. Udara sejuk mulai terasa hingga menyejukkan tenggorokan.
Kubuka kaca mobil dan kumatikan AC supaya udara sejuk masuk ke mobil dan bisa kunikmati udara sejuk Kuningan. Pepohonon yang besar menghiasi perjalanan. Si kembar pun terbangun karena merasa kedinginan oleh angin yang masuk di mobil.
“Kita sudah sampai, Bu?” tanya Rafli.
“Alhamdulilah sudah sampai Kuningan.”
“Dingiiiiiin, aku sukaaaaaa,” teriak Radit.
Aku sangat menikmati perjalanan sambil melihat pemandangan pagi. Jam 9 pagi sudah sampai di Kuningan. Menurut jadwal yang dibuat Rafa, kita langsung cari sarapan dulu di Kuningan. Aku berhentikan mobil di daerah Cilimus. Di sana berjejer toko-toko kecil menjajakan sarapan. Aku rinduu makan kupat tahu. Maka aku ajak anak-anak makan kupat tahu.
Baca Juga: Meminimalisir Korupsi, KPK Usul Kenaikan Dana Parpol
“Ini apa, Bu? “ tanya Rafa sambil mengaduk bumbu kacang yang menyelimuti ketupat dan tahu.
“Ini Namanya kupat tahu. Seperti ketoprak tapi ini bumbu dan ketupatnya khas kuningan. Tahunya pun tak pernah ibu temui di Jakarta,” jelasku.
“Enak, loh!” kata Radit yang memang pencinta kuliner.
Rafli terlihat menikmati sarapan itu. Aku melihat sekeliling lalu mataku tertuju kepada nenek-nenek sedang mengipasi tungku yang di atasnya sedang memanggang serabi. Aku langsung berdiri dan berjalan beberapa ratus meter untuk menghampiri nenek itu.
“Berapa serabinya, Nek?” tanyaku.