*
Komunikasi di antara kami semakin jarang terjadi. Media sosial miliknya pun seperti jarang diakses. Kabar terakhir yang Gita kirimkan melalui surel bahwa banyak fasilitas kesehatan yang rusak sehingga vaksinasi pencegahan virus tidak bisa dilakukan secara maksimal. Juga puluhan warga Palestina yang ditangkap pihak kepolisian Israel saat sedang mengkampanyekan sterilisasi di Sur Baher. Kemudian sukarelawan asing diminta untuk menahan aksi sosial mereka juga agar tidak ada peristiwa salah tangkap yang bisa berujung kematian.
Entah, aku merasa kosong. Kami adalah calon suami-istri, bukan teman biasa. Rasanya sangat aneh jika aku sampai kehilangan kabar darinya dalam kurun waktu yang cukup lama. Aku jadi berasumsi Gita tidak benar-benar ingin menikah denganku atau aku yang terlalu obsesif ingin mejadikannya pasangan hidup.
Jika saja Gita mau sedikit memahami, kabar yang kuharapkan datang darinya bukan lagi tentang eskalasi perang di area konflik itu, bukan pula tentang ganasnya Covid yang membuat angka kematian semakin mengerikan. Aku hanya ingin mendengar keinginan Gita untuk pulang. Sudah hampir 1,5 tahun aku menunggunya. Orang tuaku sudah mulai kehilangan kesabaran dengan segala macam alasan yang kusampaikan. Hak Gita untuk memiliki jiwa solidaritas pada sesama, pun hak orang tuaku untuk melihat anak semata wayangnya bahagia.
Dengan sangat terpaksa kuminta keputusan darinya, putus atau terus. Lagi-lagi aku tak tahu kapan Gita akan membalas surel dariku. Di satu sisi, ikatan di antara ia dan anak-anak yang diurusnya menjadi semakin masif, sementara kami semakin berjarak dan menipis.
*
Surel terakhirku baru dibalasnya beberapa pekan kemudian. Banyak yang ia tuliskan, mulai dari keadaan hingga perasaan. Selain menceritakan kondisi di sana yang semakin sulit, juga sebuah kata putus yang teramat pahit. Ya, pelangiku memutuskan akan tetap muncul di Gaza, bukan di Jakarta.
Aku tak perlu menarik napas dalam-dalam untuk mencari kelegaan. Aku sudah sangat siap menerima kenyataan. Kami punya cara berbeda untuk bahagia. Aku tak ingin menjadi penghalang baginya.
Seorang gadis lain muncul setelah mendung yang berkepanjangan, memberi jawaban atas lamanya penantian. Riska namanya. Aku belum memiliki ikatan apapun dengannya, namun aku bisa membaca sinyal-sinyal itu dari sorot matanya. Ternyata aku tak hanya butuh pelangi, aku juga butuh matahari. Riska muncul menghangatkan setelah aku hampir beku dalam ketidakpastian.
*
Hari ini, 21 September, tepat di peringatan Hari Perdamaian Dunia, kudapati seorang perempuan yang dulu pernah mengisi hidupku muncul di headline portal berita online dengan sebuah pencapaian. Sebuah penghargaan dari pemerintah RI atas misi kemanusiaan yang sudah ia lakukan. Gita sudah menyelesaikan tugasnya dan dalam proses dipulangkan ke Indonesia. Banyak pesan masuk ke ponselku menyatakan turut berduka cita dari orang-orang yang tidak tahu bahwa pelangiku sudah lama kurelakan untuk Gaza.
-selesai-
(Sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Ajeng Leodita)
Apabila artikel ini menarik, mohon bantuan untuk mensharekannya kepada teman-teman Anda, terima kasih.