“Sebelum kamu pulang, giliranku bercerita, Ru.”
Moy membetulkan kardigan yang membalut tubuhnya. Ia memainkan tetes-tetes embun di bagian luar gelas kopinya.
“Apa lagi yang mau kamu ceritakan, Moy? Aku rasa tidak ada satu pun yang terlewat dari telingaku.”
Moy tergelak. “Oh, kamu belum tahu yang satu ini,” katanya.
“Oh, ya?”
Baca Juga: Aneh, Seorang Balita di Tegal Setiap Hari Makan Tanah dan Rontokan Tembok
“Memang, aku dulu amat takut padamu, Ru. Akan tetapi, apa kamu tahu bahwa aku memendam rasa takut itu sendirian?”
Aku tidak tahu itu. Sungguh. Kupikir setiap gadis punya paling tidak satu orang teman untuk berbagi cerita.
“Oh, itu betul, Ru. Mereka mengelilingiku layaknya semut terhadap butiran gula,” sahut Moy lagi. Perempuanku ini memang jagonya membedah benak lawan bicaranya. “Aku memang punya Riana dan Cecil, tetapi aku memilih untuk menyimpannya sendiri. Jadi, kurasa wajar kalau dulu kamu hanya sedikit tahu tentangku.”
“Kenapa, Moy?”
Baca Juga: Bantuan Pemerintah Tidak Tepat Sasaran, Salah Kemensos RI atau Pemdes?
Lama sekali Moy menunduk, telunjuknya bermain-main di permukaan meja kayu yang membatasi ragaku dengannya.
“Andai saja saat itu aku berbagi pada satu orang saja, Ru, mungkin ceritanya akan lain. Satu orang saja, maka seluruh murid akan tahu,” Moy kembali memandangku, “termasuk kamu.”
Ah, Moy, mengapa baru sekarang kamu membukanya? Mengapa dulu kamu tidak pernah memberi tanda? Mengapa dulu kita tidak pernah benar-benar berhadapan untuk saling membaca tanda? Mengapa semuanya seolah-olah terlambat dan penuh dengan penyesalan?
“Tidak ada yang perlu disesali, Ru. Kita tahu cara kerja Tuhan terhadap hidup ini: hidupmu dan hidupku. Gelas-gelas kita sudah memiliki isi dan takaran masing-masing.”