Bayang-bayang pepohonan semakin panjang, langit semakin kuning. Taman mulai ramai lagi. Aku mulai lelah, tetapi tetap tidak ingin hari ini lekas berakhir.
“Aku bisa merasakan betapa sulitnya menjadi Yuna, Ru.”
Ya, itu benar. Aku bisa membayangkan dilema yang dialami Yuna, memilih antara logika dan hati. Dan, tetap, hati yang menang. Hati Yuna.
Hatiku?
Biarlah aku sendiri yang tahu. Tak perlu kubagi kepada siapa pun, termasuk Moy. Toh tanpa bicara, Moy sudah tahu segalanya.
Baca Juga: Kata Sandiaga Uno: Ingat, Bisnis Terbaik Dimulai Saat Krisis
“Semuanya sudah bahagia, kan, Ru? Aku juga bisa merasakan apa yang ada dalam hatimu sekarang.”
Benar, kan?
“Iya, Moy. Semuanya sudah bahagia. Minggu lalu aku mendapat kabar, Yuna melahirkan bayi yang sehat. Bayi laki-laki.”
Moy tersenyum. Seperti yang pujangga-pujangga bilang, seorang pria pasti pernah satu kali dalam hidupnya, ingin membingkai senyum sang kekasih hati. Itulah yang kurasakan sekarang. Dan, jika itu kulakukan sejak pertama aku bertemu Moy di sekolah, tentu tembok rumahku sudah penuh. Semuanya senyum Moy, dengan selingan wajah kagetnya ketika bertemu denganku di kantin dan di selasar kelas.
Dan, aku tersenyum mengingat segalanya.
“Sudah sore, Ru.”
Ah, iya. Memang sudah sore. Sudah saatnya mengakhiri pertemuan ini, meskipun enggan luar biasa. Aku tidak tahu kapan lagi bisa bertemu dengan Moy.