Begitu pula aku, Moy.
***
Aku tidak menjalankan saran Ferdi sampai beberapa minggu setelahnya. Fokusku agak teralihkan oleh pekerjaan kantor. Aku harus mengganti tugas rekanku untuk sementara waktu. Akibatnya, aku pun kerap pulang malam. Biasanya pukul lima sore aku sudah sampai rumah, sekarang pukul sembilan. Aku bersyukur, Bu Imah tidak keberatan menjaga anak-anak sedikit lebih lama. Tentu dengan kompensasi yang sesuai.
Yuna pun luar biasa sibuk. Dalam lima atau enam minggu itu, Yuna hanya di rumah beberapa hari. Jeleknya diri ini, aku bahkan tidak ingin tahu Yuna ke mana. Aku pun berpesan pada Bu Imah agar ia tidak perlu tanya apa-apa pada Yuna. Cukup laporkan saja padaku jika Yuna muncul.
“Saya lebih percaya padamu, Ru. Saya bisa menduga banyak hal soal istrimu itu, tetapi saya yakin kamu tidak ingin tahu apa yang saya pikirkan.”
Aku tersenyum mendengar pendapat Bu Imah, wanita baik hati yang sudah seperti ibuku sendiri. Kukatakan padanya, biar aku yang mengurus Yuna nanti jika pekerjaanku sudah kembali normal. Ia hanya perlu fokus pada dua matahariku. Jika butuh uang untuk keperluan Kirana dan Dira, Bu Imah kularang meminta pada Yuna. Aku tidak yakin uang Yuna sepenuhnya bersih.
Jujur saja, aku juga agak menunda-nunda segalanya terkait Yuna. Kami bisa tidak bertemu selama beberapa hari. Jangan tanya soal aktivitas ranjang kami. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku melakukannya bersama Yuna. Sampai saat itu akhirnya terjadi, kurasa. Aku dan Yuna berdua saja di kamar, bersama sebuah kecanggungan yang luar biasa.
Pukul sepuluh malam. Anak-anak sudah tidur dan Bu Imah sudah pulang sedari sore. Aku sengaja menyetel pengeras suara di kamar anak-anak, berjaga-jaga jika mereka membutuhkanku. Yuna sendiri sudah di rumah sejak pukul empat sore. Sungguh anomali bagiku. Sebab, biasanya ia baru akan sampai rumah menjelang tengah malam. Jadi, pukul sepuluh malam, aku dan Yuna berada di ranjang yang sama.
Selama beberapa menit kami hanya diam.
“Besok siang aku tugas ke Sumedang,” Yuna memecah sunyi.
“Iya,” gumamku.
“Tiga hari,” katanya lagi.
“Iya, terserah kamu saja, Yuna,” sahutku sama sekali tak bersemangat.