Tidak dimungkiri, peristiwa 1965 sangat banyak meninggalkan bekas—mungkin ada yang baik, tetapi jelas luar biasa banyak yang buruk—bagi siapa pun, termasuk generasi-generasi setelahnya.
Baca Juga: Mitos Seks pada Tempat Spiritual, Duh, Cagar Budaya yang Tercemar
“Peristiwa tahun 1965 itu memang sangat kompleks. Ia bukan sekadar cerita tentang perbedaan ideologi-politik, tetapi menyentuh bagian-bagian kecil dan krusial dari kehidupan umat manusia. Efek psikologis dan sosial terhadap mereka yang menjadi korban maupun pelaku sangat mendalam. Sementara dampak politiknya terus terasa hingga sekarang.” (halaman 142)
Sastra memuat segalanya. Tampaknya itu yang hendak disampaikan oleh Hairus Salim. Sastra pun menjadi sarana baginya untuk berkeliling Indonesia—tidak hanya kiasan, tetapi juga secara harfiah. Muatan-muatan yang ada tidak hanya soal keindahan diksi, tetapi makna di balik rangkaian kata yang terjalin.
Tidak banyak orang yang sanggup mengulas sebuah karya secara mendalam. Selain perkara kepekaan yang beragam, pengulasan sebuah karya membutuhkan bahan-bahan dampingan lainnya. Mata pengulas pun harus bisa jauh menerawang ke kedalaman inti karya.
Pengulas yang baik akan memberi pandangan yang baik pula bagi pembaca, tidak peduli serumit apa pun karya yang harus diulasnya. Meskipun begitu, saya yakin, tidak ada yang terlalu rumit bagi seorang penikmat karya seni. Ia akan dengan senang hati mengupas pelan-pelan, membentuknya dengan ukuran presisi, lalu menghadirkannya dengan piring saji yang cantik.
Dari buku ini, Anda akan mendapati ragam keindahan seni dan budaya. Tak hanya dari Indonesia, tetapi juga dari luar. Hairus Salim tak lupa menambah ulasan soal novel Lajja karangan Taslima Nasrin, perempuan penulis kelahiran Bangladesh.
Mengapa? Saya pikir karena Lajja mengangkat isu konflik antaragama (Islam dan Hindu) di India, serta permasalahan pemberdayaan perempuan. Itu dua isu yang juga terjadi di Indonesia hingga hari ini. Bisa jadi, Hairus ingin pembaca pun mencari tahu bagaimana sudut pandang penulis luar terhadap isu-isu purba (saya katakan purba sebab durasinya sudah sangat lama).
Baca Juga: Yuk! Kenali Potret Sejarah dan Kantor Gubernur Sumsel
Ada sebuah pepatah. Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca, kita bisa berkelana tanpa perlu bergerak dari sofa nyaman yang kita duduki. Dengan membaca, kita sedikit lebih tahu tentang sebuah nama atau tempat yang jauh. Dengan membaca, dunia serasa dalam genggaman. Mungkin terdengar lewah, tetapi ada konotasi positif di sana. Asalkan kita pintar memilih dan menyaring bacaan, tidak ada yang tidak berguna.
Pada akhirnya, nanti kita tidak hanya menggenggam dunia, tetapi juga memeluknya dengan hati-hati. Dan, itu bisa dimulai dari satu bacaan.
DESKRIPSI BUKU
Judul buku : MENGINTIP INDONESIA DARI LEROK DAN OETIMU
Penulis : Hairus Salim HS
Artikel Terkait
The Medium, Role Coaster Berusia Dua Belas Tahun Yang Hanya Numpang Lewat
Eternals: Abaikan Rating Rendah, Sukses Menyihir Penonton
Shang Chi, Performa Apik Tony Leung Yang Sayang Dilewatkan
No Time To Die, Suguhan Magnet Rapuh Pengantar Masa Pensiun Daniel Craig
Losmen Bu Broto, Wanita Berprinsip dengan Kebaya yang Anggun
Review Buku “The Gate to China” oleh Michael Sheridan: “The World According to China” oleh Elizabeth C Economy