Tiga Murid SD di Tarakan Ini Tidak Naik Kelas sebab Agama yang Dianutnya?

- Minggu, 21 November 2021 | 16:22 WIB
Retno Listyarti, Komisioner KPAI (Instagram/retnolistyarti_official)
Retno Listyarti, Komisioner KPAI (Instagram/retnolistyarti_official)

KLIKANGGARAN--Komisi Perlindungan Anak Indonesia mensinyalir terjadi dugaan kasus intoleransi di salah satu SDN di kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang menyebabkan tiga orang anak tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut, demikian disampaikan Retno Listyarti, Komisioner KPAI.

Retno menuturkan bahwa ada 3 kakak beradik yang beragama Saksi Yehuwa yang tidak naik kelas selama 3 (tiga) tahun berturut-turut karena permasalahan nilai agama di rapor. Ketiganya bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara.

Ketiga adik kakak tersebut bernama M (14 tahun) kelas 5 SD; Y(13 tahun) kelas 4 SD; dan YT (11 tahun) kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021.

Adapun alasan tidak naik kelas ketiga anak tersebut berbeda-beda alasannya setiap tahun. Mulai dari sekolah menolak memberikan pelajaran agama pada ketiga anak tersebut sampai anak diminta menyanyikan lagu rohani yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

Baca Juga: Pasca Premanisme di Kampus UNJA, Mahasiswa Minta Mendikbudristek Memeriksa Rektor UNJA

“Orangtua korban membuat pengaduan ke KPAI dan atas pengaduan tersebut, KPAI segera melakukan koordinasi dengan Itjen KemendikbudRistek untuk pemantauan bersama ke Tarakan,”ungkap Retno Listyarti, Komisioner KPAI.

Atas keputusan sekolah, orangtua anak korban melakukan perlawanan ke jalur hukum, mereka selalu menang di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pihak sekolah selalu punya cara setiap tahun untuk tidak menaikan ketiga anak tersebut. Keputusan ke jalur hukum ditempuh orantua korban lantaran jalur dialog dan mediasi menemui jalur buntu.

Secara psikologi, anak sudah sangat terpukul, mulai kehilangan semangat belajar, merasa malu dengan teman-teman sebaya karena sudah tertinggal kelas selama 3 tahun berturut-turut, bukan karena mereka tidak pandai akademik, namun karena perlakuan diskriminasi atas keyakinan yang mereka anut. Padahal anak hanya mengikuti keyakinan orangtuanya.

“Ketiga anak sudah menyatakan dalam zoom meeting dengan KPAI dan Itjen KemendikbudRistek, bahwa mereka tidak mau melanjutkan sekolah jika mereka tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya,” ungkap Retno yang juga menjadi penanggungjawab Tim Pemantauan Kasus Intoleransi di Tarakan atas penugasan Itjen KemendikbudRistek.

Baca Juga: Marcus dan Kevin Kalah di Final, Indonesia tanpa Juara di Indonesia Masters 2021

Tinggal Kelas Kali Pertama (2018-2019): Dianggap Absen tanpa keterangan

Ketiga anak tidak naik kelas karena dianggap tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari 3 bulan. Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah dan baru dapat kembali setelah penetapan PTUN Samarinda.

Pada 15 Desember 2018. Keputusan sekolah secara resmi mengeluarkan ketiga anak dari sekolah. Sejak ini, ketiga anak tidak diperbolehkan ikut kegiatan belajar mengajar. Kemudian pada 16 April 2019, melalui penetapan PTUN Samarinda (putusan sela) ketiga anak dikembalikan ke sekolah, hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pada Kenaikan kelas tahun ajaran 2018-2019. Anak-anak tinggal kelas.

Lalu, pada 8 Agustus 2019, Putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya. Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah. Juga merupakan bentuk intoleransi di lingkungan pendidikan. PTUN memutuskan mengembalikan anak ke sekolah.

Baca Juga: PALI dan Prabumulih Berbagi Angka, Jaga Asa Lulus di Grup B Sepakbola Porprov XIII OKU Raya

Halaman:

Editor: Insan Purnama

Sumber: Rilis KPAI

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X