Jakarta, Klikanggaran.com-Nyaris semua sudah tahu bahwa tulisan fiksi adalah sesuatu yang dirangkai dan ditulis berdasarkan daya imajinasi penulisnya.
Dalam KBBI daring, fiksi diartikan sebagai cerita rekaan (roman, novel, dan sebagainya); rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran (diakses 9 Oktober 2021).
Indonesia sendiri memiliki ratusan atau bahkan ribuan penulis yang karyanya sudah beredar luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Meskipun begitu, beberapa dari mereka juga menulis artikel non fiksi untuk media, atau sebatas berbagi di laman media sosial masing-masing. Misalnya saja Ayu Utami, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan Yusi Avianto Pareanom.
Baca Juga: Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, Hari Ini, KPK Panggil Anggota DPRD Muara Enim, Kasman Dkk
Bisa dilihat melalui profil yang beredar di dunia maya, bahwa rata-rata dari mereka berprofesi sebagai wartawan.
Jadi, saya rasa mereka justru lebih dulu menulis non fiksi. Atau mungkin berbarengan. Bukan masalah mana yang lebih dahulu mereka tulis. Yang kita perhatikan di sini adalah cara mereka menyajikan sebuah isu ke dalam tulisan.
Sebagai wartawan, mereka jelas punya akses besar terhadap data dan wawasan. Dengan akses besar itulah mereka menulis, baik fiksi maupun non fiksi.
Hasilnya? Tentu sebuah bacaan yang penuh makna, padat, tetapi sekaligus memanjakan hasrat akan penghiburan—sekali lagi—baik fiksi maupun non fiksi.
Baca Juga: Film Baru George Clooney: Kembali Bekeja Sama dengan Ben Affleck dalam Film The Tender Bar
Apakah ada wartawan yang tidak menulis fiksi? Tentu ada. Mungkin malah lebih banyak jumlahnya. Tidak masalah juga. Ini hanya soal ketertarikan.
Ayu dan Arswendo mungkin dua dari sekian banyak yang memiliki ketertarikan akan seni tulis cerita. Dari ketertarikan lahirlah kepekaan menangkap detail-detail yang nantinya berguna dalam tulisan mereka. Jadi, jika tidak peka, mungkin hasil tulisan jadi kurang begitu menarik.
Selain kepekaan, mereka juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Tanpa itu, tulisan mereka tak ubahnya naskah berita sore yang hanya perlu disimak 5W dan 1H tanpa perlu dirasakan maknanya.
Jiwa seni yang memberi nyawa ke dalam tulisan, sekalipun itu hanya naskah esai soal politik atau ekonomi.
Artikel Terkait
Kita Membutuhkan Kata Saling
Kata Kuntowijoyo, (Laki-Laki) 'Dilarang Mencintai Bunga-Bunga', ketika Ayah Menjadi Pusat Hidup
PUISI: Rembulan Menangis