Santri Tutup Telinga Atas Suara Musik, Stigmatisasi yang Salah Sasaran

photo author
- Minggu, 19 September 2021 | 12:03 WIB
Santri tutup telingan atas musik yang diperdengarkan (Dok. Klikanggaran)
Santri tutup telingan atas musik yang diperdengarkan (Dok. Klikanggaran)

Kesediaan santri-santri tersebut untuk melakukan vaksin sudah merupakan tindakan luar biasa. Pemuda Muhammadiyah mengimbau agar tidak melakukan justifikasi terhadap perbedaan pandangan dan keyakinan kelompok lain.

Baca Juga: Wah-wah, Prancis Marah Merasa Ditikam dari Belakang oleh Amerika, Australia, dan Inggris sebab Kontrak Kapal S

8. Direktur Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono, ikut menanggapi bahwa para santri yang menutup telinga karena enggan mendengarkan musik bukan tanda-tanda menganut paham ekstremisme.
Waryono menjelaskan ada pandangan dan respons yang berbeda satu sama lain di pesantren terkait musik. Ia menjelaskan ada kiai pengasuh pesantren yang memperbolehkan santrinya mendengarkan musik. Di sisi lain, juga ada yang tak memperbolehkannya.

"Boleh dan tak boleh ini tergantung pada mahzab kiai," kata dia.
Waryono menjelaskan pertimbangan umum pengasuh pesantren tak memperbolehkan santrinya mendengar musik karena santri masih kecil dan perlu banyak belajar.

"Itu harus hafal semua. Itu butuh konsentrasi. Makanya kalau butuh konsentrasi kiai melarang jangan mendengarkan musik. Bahkan ada di pesantren-pesantren enggak boleh main HP, enggak boleh nonton TV. Itu bukan fenomena baru,"

9. Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Achmad Uzair Fauzan, meminta seluruh pihak tidak cepat melabeli ustaz dan para santri yang menutup telinga saat mendengar musik sebagai kelompok radikal.

Uzair berpendapat poin penting dari video tersebut adalah upaya pesantren memfasilitasi santri melakukan vaksinasi. Ia menilai isu soal radikalisme justru mengalihkan pesan utama tersebut.

Dia berpendapat kegiatan pesantren memfasilitasi vaksinasi meruntuhkan argumen soal radikalisme. Menurut Uzair, vaksinasi dilakukan oleh orang-orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungannya.

"Kalau orang radikal, dia enggak mungkin berpikir soal kesehatan publik,"

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X