KLIKANGGARAN--Kita jamak mengetahui bahwa 22 Desember merupakan peringatan Hari Ibu. Berbagai acara kerap digelar sebagai pengingat, baik yang besar-besaran maupun aktivitas personal tanpa perlu woro-woro ke publik.
Vendor-vendor pun tak ketinggalan memanfaatkan momen Hari Ibu untuk menggenjot penjualan. Macam-macam promosi berupa potongan harga atau bonus produk kerap ditawarkan. Mereka mungkin berpikir dan berharap kebahagiaan dapat tercipta melalui pemberian kepada orang terkasih.
Pada Hari Ibu, semua harus tersenyum, semua harus bersukacita. Pada Hari Ibu, ucapan terima kasih atau kado tertentu menjadi simbol kasatmata yang harus ada. Pada Hari Ibu, kasus-kasus baru diharapkan—jika tidak ingin menyebut dilarang—muncul.
Catatan sejarah tidak menutupi bahwa Hari Ibu sejatinya adalah hari untuk perempuan. Tanggal tersebut merupakan tanggal pembukaan sebuah pertemuan akbar para perempuan yang digelar di Yogyakarta. Jadi, tidak melulu seorang ibu yang berhak diberi ucapan atau kado, tetapi seluruh perempuan Indonesia.
Baca Juga: Gunung Semeru Masih Berstatus Siaga, BPIP Ikut Ulurkan Tangan
Sayangnya, sukacita memang selalu bergandengan dengan dukacita. Kalau mau dihitung dan dicatat, tiap jam ada saja perempuan yang terjebak dalam situasi tidak baik. Entah itu dikepung pekerjaan tanpa jeda, entah itu menerima omongan tidak sedap dari orang-orang yang bahkan merupakan lingkaran terdekat. Orang-orang yang seharusnya jadi sandaran ketika sesuatu yang buruk terjadi, tetapi apa daya, malah mereka yang menabur garam di atas luka.
Mungkin, kita perlu berkaca pada beberapa jenis hewan. Penguin, misalnya. Pejantan penguin akan menjaga telur sampai menetas. Begitu pula dengan beberapa jenis bangsa aves lainnya yang pejantannya sibuk mondar-mandir mencari makanan untuk para betina yang menjaga telur. Atau, mungkin juga kita perlu melihat bagaimana pejantan ikan cupang menjaga ratusan telur, bahkan sampai ikan-ikan mungil itu bisa berenang dengan baik.
Apakah hewan-hewan itu sempat menerima pelatihan kesetaraan gender atau semacamnya sehingga para pejantan mau melakukan hal-hal yang umumnya dikerjakan manusia berkelamin perempuan? Apakah para betina yang menyuruh mereka?
Tidak. Mereka bergerak berdasarkan insting. Semua yang mereka kerjakan sudah tertanam di otak mereka. Jika semua normal, aktivitas merawat keturunan pun berjalan lancar. Oh, bahkan buaya jantan pun akan menjaga anak-anak mereka dari ancaman predator. Iya, buaya jantan, kalian tidak salah membaca, kok.
Lantas, mengapa manusia masih terus saja mengusahakan kesetaraan dalam banyak aspek? Mengapa masih banyak motivator yang membagikan narasi soal pemberdayaan perempuan? Mengapa deretan kasus kekerasan dalam rumah tangga maupun di luar rumah tangga bertambah panjang alih-alih berkurang? Apa yang salah?
Belakangan, kita disibukkan dan diriuhkan dengan pemberitaan soal kekerasan seksual dan pemerkosaan di berbagai wilayah. Sampai-sampai muncul pertanyaan, “Kok, akhir-akhir ini banyak kasus ini dan itu, ya? Dulu, kok, adem-adem saja?”
Beberapa pemerhati dan aktivis sempat menjelaskan bahwa segalanya bukan terjadi baru-baru ini. Kekerasan seksual dan pemerkosaan adalah kasus purba. Hanya saja, dengan gencar dan banyaknya media, semuanya mudah muncul ke permukaan. Bahkan, jika ada kasus yang tidak segera tertangani, membawanya media sosial adalah jalan ninja.