Aku gelisah. Tak satupun musik-musik itu membawaku membumbung ke langit yang berubah corak dan warnanya.
Baca Juga: Nama Sekolah yang Tidak Lazim, Mulai SDN Pocong, Setan, hingga Siluman
Akupun mulai membongkar-bongkar khasanah musik ayahku. Dan aku menemukan Yehudi Menuhin.
Sebenarnya hanya sebuah lagu pop, “Moon River” yang dibawakan secara solo oleh Menuhin dengan biola. Itupun satu-satunya lagunya dalam kompilasi musik berjudul “Golden Instrumentalia”.
Pernahkah engkau mendengarkan Menuhin? Jika belum, cobalah sekali waktu. Ia akan memainkan biola seakan-akan langsung di dalam kepalamu sendiri. Ia akan meyakinkanmu bahwa suara itu memang milikmu sendiri, dan sudah berabad-abad berada di situ tanpa kamu menyadarinya.
Baca Juga: Nikahi 2 Istri Mudanya, Mantan Kades Gelapkan Dana Desa 500 Juta
Aku jatuh cinta pada Menuhin dan mulai tiap hari mengubek-ubek seluruh toko kaset di kotaku yang tak seberapa besar itu.
Nihil. Aku rayu teman dari temanku yang anak pemilik radio amatir agar mau membongkar gudang kaset dan piringan hitam bapaknya.
Nihil. Fuad, teman bermainku yang bapaknya kyai penyuka lagu-lagu Mesir, seperti Umi Khulsum, malah mendelik, “Lagu-ne Yahudi? Kharom iku ! “
Frustrasi tak menemukan Yehudi Menuhin membuatku liar. Aku mulai melahap segala jenis musik. Jika uang sakuku habis, maka aku mencuri uang belanja Ibu atau merogoh saku celana ayahku untuk membeli kaset.
Baca Juga: Kevin/Marcus Dikalahkan Yuniornya, Gagal Melaju ke Perempat Final Denmark Open.
Ketika suatu hari, ayahku menghadiahiku album Heintje –penyanyi cilik Jerman yang waktu itu ngetop dengan hit-nya “Mama”—aku ketawa ngakak.
Mana aku sudi menelan musik bayi begituan. Ayahku tidak tahu aku sudah “terjerumus” jauh pada Deep Purple dan Gran Funk.
(Pada 1983 atau 1984, di Yogyakarta, akhirnya aku menemukan kaset Yehudi Menuhin dan Stephen Grappeli dalam satu kompilasi bersama).
Penulis: Indra Setiawan, tinggal di Magelang, Jawa Tengah.