opini

Dilarang Baper Saat Mendapat Kritik

Kamis, 16 September 2021 | 16:19 WIB
Baper saat dikritik (Dok.pexels.com/Pixabay)

Klikanggaran.com - Pernah mendapat kritik atas apa yang sudah Anda lakukan? Pernah merasa kesal atas kritik tersebut? Atau, jangan-jangan, Anda jadi baper gara-gara kritik yang sebenarnya cukup umum diutarakan dalam sebuah forum? Tak perlu khawatir. Anda tidak sendirian di dunia ini. Kira-kira setengah populasi semesta, termasuk alien-alien di pojokan Galaksi Andromeda juga mengalami hal tersebut.

Lantas, bagaimana cara mengusir baper ketika banjir kritik mendera? Oh, itu mudah, Ferguso. Artikel ini akan—setidaknya—membuat Anda memikirkan sejuta kali jika memutuskan untuk baper saat menghadapi kritik.

Baper adalah akronim dari bawa perasaan. Sebutan itu merupakan sebuah reaksi yang terjadi ketika kita mengalami sesuatu yang kurang mengenakan atau tidak sesuai kondisi ideal kita. Misalnya, ya, ketika kita mendapat kritik terhadap karya atau aktivitas yang sudah atau sedang kita lakukan.

Baca Juga: Upaya Pencegahan Banjir di Jakarta Tak Dapat Dilakukan, Ini PR Pemprov DKI Jakarta

Seseorang bisa saja meralat ketikan komentar Anda di media sosial. Dalam kondisi kepala dingin, komentar tersebut jadi semacam pengingat. Anda akan berterima kasih kepada pemberi kritik karena menghindarkan Anda dari kesalahan berkepanjangan. Anda tentu tidak ingin orang lain yang belum tahu apa-apa malah menyerap sesuatu yang salah dari diri Anda, bukan?

Bagi pemberi kritik, penerimaan Anda yang begitu tenang akan mendatangkan perasaan lega. Si pemberi kritik tentu juga tidak ingin orang lain mengadopsi kesalahan tik tersebut menjadi pakem. Sampai di sini, kondisi ideal tercapai. Semua senang, semua tenang.

Hanya saja, ada kalanya suasana hati seseorang tidak bisa diprediksi, apalagi jika kita tidak mengenal orang tersebut secara personal. Mungkin kondisi tubuhnya sedang tidak bagus, mungkin pula sedang mengalami masalah di tempat kerja. Maka, sehalus apa pun koreksi yang kita ajukan, selalu akan mendapat reaksi berlebihan. Mengapa disebut berlebihan? Sebab, idealnya, segala permasalahan bisa disikapi dengan tenang.

Baca Juga: Birokrasi Pemkab Batang Hari Belum Terpadu, Ini Permasalahan yang Perlu Diperhatikan

Seseorang yang dalam kendali amarah biasanya lebih mendengarkan ego. Bahwa, dirinya harus dilayani dengan baik, dimanja-manja dengan kata-kata lembut, dan cenderung tidak mau menerima kata “tidak” dari orang lain. Dengan kata lain, tidak boleh ada yang merendahkan dirinya, lewat cara apa pun. Ini jelas bukan cara yang baik dalam menyikapi sebuah kritik.

Sejatinya, sebuah kritik tidak melulu menjadi pernyataan bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang suatu objek. Seperti yang sudah dipaparkan di awal, koreksi biasanya dilempar agar kesalahan tersebut tidak menyebar.

Dalam lingkup karya sastra, kritik diberikan sebagai bentuk apresiasi. Bersamaan dengan kritik, ada ulasan yang menyertai. Dua hal itu yang biasanya malah membuat sebuah karya makin dicari orang. Seorang pengkritik atau pengulas karya tentu tidak membocorkan semua isi naskah. Ia akan mengambil poin-poin tertentu untuk dibahas. Dan, pembahasan ini akan menimbulkan tafsir berbeda-beda di tiap pembaca. Sampai pada akhirnya, orang-orang memutuskan ingin membaca sendiri karya tersebut agar mendapat pandangan yang lebih terang dan jelas.

Baca Juga: Hoax Soal Tidak Bisa Naik KRL, Lakukan Ini Segera

Secara berkala, Dewan Kesenian Jakarta menggelar sayembara kritik sastra. Ini bukan sekadar ingin mengoreksi saltik soal awalan dan kata depan. Jauh melampaui bahasan itu, kritik yang mereka tulis jelas sangat mendalam sehingga siapa pun yang baperan mungkin inginnya gantung diri di pohon tauge.

Mereka mungkin akan membahas apa yang sekiranya melatari lahirnya karya tersebut, atau bagaimana penulis mengolah data lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya, atau seperti apa gaya tutur yang tergambar dari diksi penulis, atau mengapa ia membuat karakter-karakter yang tampaknya tidak akan ditemui di dunia nyata. Jelas, perbedaan antara kata depan dan awalan bukan lagi prioritas untuk dibahas. Bahkan, kalaupun pengulas menemukan aib itu, kritik akan makin terasa pedas. Lantas, jika penulis tidak siap mental, jenis baper apakah yang akan muncul? Apakah reaksi yang muncul adalah ajian baper sundul langit? Apakah semua penulis akan bereaksi seperti itu? Oh, tentu tidak, Marimar. Tidak semua, maksudnya bwahahaha ….

Halaman:

Tags

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB