Agama dan Politik: Antara Komoditas dan Oportunisme

photo author
- Kamis, 30 November 2023 | 14:41 WIB
Riyadh Arasyi, Penulis Opini (Dok)
Riyadh Arasyi, Penulis Opini (Dok)

KLIKANGGARAN -- Sayyidina Ali Bin Abi Thalib wafat akibat ayunan pedang Abdurrahman Bin Muljam yang mendarat tepat di batang lehernya. Sebab, ketika menjadi Amirul Mukminin, beliau dihujani fitnah oleh para lawan politiknya karena tidak segera mengeksekusi pembunuh Utsman Bin Affan. Ironisnya, pemenggal Khulafaur Rasyidin keempat itu justru muslim yang taat, ia seorang hafiz Al-Qur'an yang ibadahnya tak pernah putus dan konsisten berpuasa Senin Kamis.

Kemudian, kematian Sayyidina Husein Bin Ali di lembah Karbala adalah kisah tragis berikutnya. Beliau wafat ketika digempur secara membabi-buta oleh pasukan Yazid Bin Muawiyah. Atas motivasi untuk melanggengkan kekuasaan politik, Yazid membantai orang tak berdosa. Bahkan, kepala cucu kesayangan Rasulullah saw. itu menjadi mainan di istana kekhalifahan Umayyah. Keji luar biasa bukan?

Namun, apakah para pembunuh itu mengakui dosanya? Tentu tidak, karena setiap kejahatan yang dilegitimasi oleh postulat agama akan selalu tampak mulia. Abdurrahman Bin Muljam, misalnya, sampai dihukum kisas pun masih meyakini kalau perbuatannya tegak lurus di jalan Allah Swt. meski faktanya itu tak lebih dari sentimen politik.

Kedua fakta historis di atas telah membuktikan jika perkawinan antara agama dan politik itu akan melahirkan perpecahan. Bukan sekadar gesekan ideologis, tetapi juga kekerasan, kebencian, dan pertumpahan darah. Agama menjadi tidak membawa kasih, dan politik gagal menghasilkan kesejahteraan. Bukan hanya dalam konteks Islam, tapi agama lain pun sama saja.

Di Indonesia sendiri, agama telah menjadi komoditas yang laris manis ketika menjelang pesta politik. Para kontestan yang akan bertarung di arena demokrasi pasti tiba-tiba menjadi Islami: Berkunjung ke pesantren, ziarah kubur, menyambangi para ulama, bahkan tiba-tiba menjadi aktor azan di televisi. Sebab, para pemuka agama bisa menggerakkan massa untuk mendongkrak suara elektorat. Agama adalah alat yang efektif untuk memengaruhi persepsi publik.

Memang, secara hukum negara itu sah-sah saja selama tidak melanggar konstitusi. Betul juga setiap calon punya identitas masing-masing. Tapi ketika identitas digunakan untuk kepentingan pribadi, jelas tidak etis, itu adalah kebiadaban dan sikap oportunis. Bagaimana tidak, wong ia menjual nama Tuhan demi meraih takhta. Maka dari itu, sirkulasi agama dalam jaringan politik di Indonesia tidak boleh dinormalisasi dengan alasan apa pun.

Menjelang pemilu 2024 ini, beberapa pendakwah pun sudah mulai mempersuasi jamaah untuk mencoblos salah satu calon. Polanya sama seperti biasa, mereka menjadi tokoh religius pengasong agama. Bahkan, tak sedikit juga pendakwah yang curi start sebelum masa kampanye dimulai. Dengan dalil-dalil teologis, mereka membunuh nalar kritis para pengikutnya.

Apakah mereka mendukung ikhlas karena Tuhan? Mustahil, pasti ada simbiosis mutualisme; ada aktivitas transaksi. Saya pikir, pengikutnya yang manut saja pun telah kehilangan akal sehat. Mereka layaknya domba-domba yang mau digiring ke mana saja oleh sang penggembala.

Miris hati ini melihat nama Tuhan di dunia politik bisa ditukar dengan gelontoran rupiah, seolah-olah Tuhan Yang Maha Agung menjadi sangat murah. Fungsi agama telah mengalami degradasi, bukan lagi untuk mendekatkan diri kepada ihwal spiritual, tetapi untuk mengenyangkan hasrat duniawi. Percuma menggunakan sorban kalau cuma jadi miniatur saja.

Jujur, saya khawatir konflik agama dan politik ini terjadi lagi di Indonesia, seperti halnya yang pernah terjadi dalam pilgub DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Masyarakat terpecah belah, kerukunan hancur, dan anak bangsa saling serang. Akhirnya, demo berjilid-jilid pun terjadi sehingga lantunan takbir diiringi dengan nada kebencian. Itu adalah pengkhianatan terhadap semboyan Bhineka Tunggal Ika tentu saja.

Padahal, pemilu seharusnya menjadi ajang beradu gagasan cemerlang untuk masa depan negeri. Apalagi pemilu 2024 akan didominasi oleh Milenial dan Gen Z. Mereka adalah bibit-bibit untuk mencapai Indonesia emas yang harusnya diberikan contoh edukatif, bukan malah menunjukkan sesat pikir dan politik identitas yang menggoreng agama.

Agama dalam kehidupan komunal itu adalah simbol saja, kok. Harusnya kita fokus melihat tubuh yang menggunakan simbol itu, bukan sekadar melihat simbolnya. Misalnya, ada orang Kristen yang baik, toleran, adil, jujur, dan transparan, serta ada pula orang Islam yang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Saya sebagai Muslim pasti akan memilih yang Kristen walaupun dia berbeda keimanan dengan saya. Pendekatan saya rasional, bukan emosional.

Kembali lagi, beberapa sejarah kelam tentang agama yang bersinggungan dengan politik harusnya bisa menjadi medium kontemplasi, terutama bagi umat Muslim sebagai kaum mayoritas di Indonesia. Kalau dinasti Islam yang cenderung monokultur saja bisa perang saudara karena politik, apalagi kita yang notabene adalah negara pluralis, baik dari segi agama, ras, maupun suku.

Jadi, marilah kita berpikir kritis, logis, dan analitis untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik. Sudahi politik identitas, apalagi identitas agama yang amat sensitif. Hindari gesekan-gesekan yang berpotensi memecah persatuan bangsa kita. Ciptakanlah politik yang menyenangkan dan menyejahterakan rakyat. Ingat, justru agama akan menjadi sempurna ketika manusia menggunakan akal sehatnya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X