Penyalahgunaan Kekuasaan Satu Keniscayaan dalam Demokrasi

photo author
- Selasa, 31 Oktober 2023 | 14:08 WIB
MK
MK


KLIKANGGARAN --Dalam beberapa akhir ini, kasus penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks sistem demokrasi telah menjadi perhatian serius di seluruh negeri maupun di negara kita sendiri. Penyalahgunaan ini merusak fondasi prinsip demokrasi yang seharusnya didasarkan pada representasi rakyat dan keadilan.

Aturan KPU memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi/golongan, bahkan juga fasilitas negara dan anggaran. Dikutip dari tirto.id, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menyampaikan bahwa peluang penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 akan selalu terbuka, apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat. Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye. Kata Nisa, penyelenggara negara memang telah diperbolehkan, misalnya, mengambil cuti atau dalam kontestasi pilkada, mereka tidak boleh melakukan mutasi jabatan selama 6 bulan sebelum pencalonan. Adapun untuk kontestasi pilpres, termaktub dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023, pejabat setingkat menteri, DPR RI dan kepala daerah tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya dan bisa mengajukan cuti kepada presiden.

Seperti halnya capres dan cawapres, dikutip dari Trimbun.news, Sebagaimana diketahui saat Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mendaftar ke KPU sebagai peserta Pilpres 2024, sejumlah menteri kabinet pemerintahan Presiden Jokowi cuti kerja untuk menghantar pasangan itu ke KPU, Rabu (25/10/2023). Beberapa menteri juga didapuk masuk tim pemenangan nasional Prabowo-Gibran. Mereka yang hadir di antaranya Menko Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Umum PAN, Zulkilfi Hasan, Menteri Pertahanan yang juga bacapres dan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, yang menjadi Wakil Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Gibran. Kemudian, Wakil Menteri ATR/BPN yang juga Sekjen PSI, Raja Juli Antoni, Wakil Menteri Perdagangan yang juga kader Golkar, Jerry Sambuaga, Wakil Menteri BUMN Rosan Roeslani yang menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Gibran.

"Menurut saya, sudah tidak efektif lagi, lebih baik cuti semuanya. Jadi, memberi kesempatan yang sama, lebih fokus pada bidang masing-masing, tentu yang menjadi tim sukses bisa berkampanye semaksimal mungkin," kata Ari.

Sangat tidak efektif jika kekuasaan ini disalahgunakan untuk kepentingan parpol semata, memanfaatkan jabatan hanya untuk kepentingan semata, gimana halnya dengan masyarakat? Selain itu, ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas dan abai terhadap hak rakyat. Seperti yang dilansir Voa Indonesia menganai buruh tuntut kenaikan upah minimum 15% pada 2024, Said Iqbal mengkritik pemerintah yang dianggap kurang memperhatikan pembahasan upah minimum 2024 karena sibuk mengurusi politik menjelang Pemilu 2024. Ditambah lagi, kata dia, pemerintah atau Kementerian Ketenagakerjaan masih bingung menentukan besaran indeks tertentu. Menurut Undang-Undang Cipta Kerja, upah minimum akan ditentukan berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu.

"Rapat-rapat tidak digelar, rapat Dewan Pengupahan Kabupaten Kota, Provinsi dan nasional tidak digelar karena sedang sibuk berpolitik," ujarnya secara daring, Sabtu (21/10).

Seharusnya pejabat ataupun yang mempunyai hak atas kekuasaan mempunyai hak atas keterpurukan masyarakat dan menepiskan hal-hal kepentingan semata. Demikian halnya bagi masyarakat yang mereka pimpin, tidak paham dengan hak mereka selaku pihak yang dipimpin. Betapa jelas dan tegas bahwa aktivitas memimpin adalah bagian dari keterikatan terhadap hukum Islam. Di mana, para penguasa dan pejabat-pejabatnya sama sekali tidak memiliki hak untuk mengabaikan amanah tersebut. Menjabat adalah soal menyebut yang putih adalah putih, dan menyebut yang hitam adalah hitam. Tiada kompromi dalam pelaksanaan hukum. Alih-alih menyalahgunakan kekuasaan karena setiap jengkalnya adalah pertanggungjawaban, baik kepada umat yang dipimpin maupun kepada Allah SWT selaku Asy-Syari'.

Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia. Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Ketegasan Islam akan adanya pertanggungjawaban di akhirat dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada aturan Allah dan Rasul-Nya.

 

---------------

Artikel ini merupakan opini yang ditulis oleh Fika Salsabila, Mahasiswa Dan Aktivis Gerakan Islam

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Insan Purnama

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X