Baca Juga: KPK Periksa Delapan Saksi Atas Tersangka Dodi Reza, Salah Satunya Penasihat Hukum
Menurut pengamatan CBA, SHS seperti berusaha keras menyampaikan ke publik bahwa Luhut sudah banyak memberikan donasi. Antara lain alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, dan alat lab ke Fakultas Kedokteran.
Meskipun menurut Jajang tidak dijelaskan rinciannya. Termasuk didirikannya GSI, ia menjelaskan, meskipun ini adalah perusahaan bukan yayasan, seperti namanya ada unsur solidaritas keuntungan dari proyek yang didapat dari GSI nanti digunakan untuk amal.
“Jadi SHS ingin menyampaikan kepada publik bahwa Pak Luhut sebagai pejabat memang memiliki kaitan kuat dengan perusahaan GSI. Dan, benar mendapatkan proyek PCR , tapi dia mengingatkan, keuntungannya nanti didonasikan ke fakultas kedokteran seperti alat PCR dan lainnya “atas nama Pak Luhur, tentunya”. Jadi benar kalau Pak Luhut bilang ke publik bahwa dia tidak ambil untung dari bisnis PCR,” papar Jajang.
Baca Juga: Pengadaan Diamonium Phosphate Terlambat, Pupuk Kaltim Belum Kenakan Denda pada Rekanan?
Pembelaan SHS ini dinilai CBA sangat aneh, karena memang berangkat dari logika yang aneh serta banyak hal yang tidak dia ungkapkan.
“Toh, ini memang hanya pembelaan, sebatas bawahan yang membela atasannya,” sindir Jajang lagi.
Publik tidak perlu berharap lebih, lanjut Jajang. Luhut dan lingkarannya yang tajir-tajir menjelaskan kepada publik, kenapa saat harga PCR yang sampai Rp 2,5 juta sebelum Oktober 2020 pemerintah termasuk mereka adem ayem saja.
Setelah Oktober 2020 harga PCR berubah-ubah, lanjutnya, tidak jelas harga standarnya berapa. Mulai dari Rp900 ribu dari Oktober 2020 sampai Agustus 2021, kemudian berubah lagi jadi Rp495.000-Rp525.000 sampai Oktober. Terakhir ternyata harga PCR bisa dipatok Rp275.000-Rp 300.000 sejak akhir Oktober. Bahkan ada yang mengatakan, tes PCR kalau mau bisa saja Rp 10 ribu.
Baca Juga: MP Pupuk Kaltim Lalai dalam Koordinasi, Ada Kelebihan Pembayaran Jasa Sewa Kendaraan
“Publik juga tidak perlu berarap lebih Luhut dan lingkaran menjelaskan dengan jujur, apakah betul sebatas urusan PCR negara ini tidak mampu lagi dan benar-benar tidak ada duit. Padahal data menunjukkan soal anggaran untuk penanganan kesehatan di tahun 2020 yang digelontorkan Rp 99,5 triliun yang dipakai atau terealisasi hanya 63,6 persen. Di tahun 2021 dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen, padahal sekarang menjelang akhir tahun,” papar Jajang.
“Belum lagi soal temuan terbaru, dari bisnis PCR saja uang yang berputar sampai Rp 23 triliun dan keuntungan yang diperoleh dari kelompok yang berbisnis soal PCR bisa mencapai Rp 10 triliun lebih. Dari sini bisa disimpulkan, saat pandemi pejabat kita tidak serius bekerja untuk rakyat. Mereka sibuk dengan kelompoknya berbisnis kemudian untuk menutupi borok sesekali mereka berdonasi dari hasil untung ini,” tutup Jajang.
Isi artikel ini tidak mengekspresikan pendapat dan kebijakan redaksi klikanggaran. Jika Anda pikir teman Anda akan tertarik dengan artikel ini, mohon dibantu share kepadanya, terima kasih.*
Artikel Terkait
Kejati Jabar Tahan Empat Tersangka Dugaan Korupsi di PT Posfin Indonesia
Dugaan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa, KPK Dalami Proses Pembahasan APBD Muara Enim 2019.
Audit BPK Rampung! Dugaan Korupsi SMKN 53 Jakbar Disebut Rugikan Negara Rp2,3 Miliar
Kejati Jabar Selidiki Dugaan Korupsi pada PT RG Rajawali II, Anak Perusahaan BUMN RNI
Sudah Sejauh Mana Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Toilet Mewah Senilai Rp 98 Miliar di Bekasi?
Kejari Prabumulih Tahan Pejabat Dinkes Terkait Dugaan Korupsi
Komitmen Soal Pemberantasan Korupsi, KPK Tengah Menyelidiki Soal Dugaan Korupsi PCR
Rekomendasi DPRD Sumsel Temuan Awal Dugaan Korupsi di Pemprov Sumsel
Dugaan Korupsi Bansos Kota Palembang Kembali Mencuat di Publik
Dugaan Korupsi Formula E, LSAK: TGUPP Harus Lakukan Pencegahan, Bukan Terkesan Pembelaan