Yuna namanya. Aku tahu dari beberapa juniorku di kampus yang berteman dengan gadis itu. Paras oval dengan penutup kepala sederhana, entah mengapa bisa membuatku ingin sekali mendekatinya. Tidak, Yuna tidak secantik Anggia, teman satu angkatanku yang menyambi sebagai model sampul majalah kenamaan. Yuna pun tak seterkenal Rani yang menyambi sebagai penyiar radio di kota kelahiranku itu. Yuna adalah Yuna, dengan segala kesederhanaannya yang memikat hatiku.
“Untuk apa kamu mengekor terus seharian, Kak?”
Baca Juga: BNN Musi Rawas Apresiasi Kejari Lubuklinggau atas Upaya Kasasi Terhadap Bandar Sabu 2Kg
Yuna tiba-tiba sudah di hadapanku. Tas ranselnya menggantung di satu bahu sementara tangan kirinya memegang beberapa diktat tebal. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan, bibir ranumnya tampak terkatup rapat.
“Hah?” Aku kehilangan kata-kata.
“Kakak pikir aku tidak tahu, ya?” tanyanya lagi. Ia memeluk diktat-diktat itu seolah-olah membentengi dirinya terhadap apa pun yang akan terjadi.
Aku hanya bisa melempar cengiran tanpa dosa.
“Aku ke kelas, Kakak diam di teras. Aku ke kantin, Kakak berdiri di samping kulkas minuman. Aku ke taman, Kakak ikut duduk di bangku ini. Mau Kakak apa?”
Apa mauku? Tentu saja berkenalan denganmu, Yuna. Ingin masuk ke dalam hidup dan pikiranmu, ingin mewujudkan cita-cita bersamamu, ingin menyertaimu menjalani sisa umur yang ada. Sayangnya, Yuna tak mendengar jawabanku karena itu hanya terlantang dalam hati.
“Maaf, Kak, aku tidak punya waktu seharian nunggu jawaban Kakak. Ibu membutuhkanku sore ini.”
Dan, Yuna berlalu begitu saja dari hadapanku. Punggungnya cepat sekali menghilang dari pandanganku. Membuatku kehilangan kesempatan besar untuk lebih dekat dengannya.
Di lain waktu, aku melihat Yuna bergerombol dengan teman-temannya. Kadang di taman, kadang di selasar, tetapi lebih sering di kantin. Caranya memegang gelas minuman, caranya meraih sedotan dan mendekatkan ke bibirnya, caranya meletakkan kembali gelas ke meja, membuatku kehilangan kesadaran selama beberapa detik.
Tidak, tidak, aku tidak sedang pingsan. Maksudku adalah kesadaran dalam arti lain. Kesadaranku menjejak bumi, kesadaran bahwa bertahun-tahun lalu aku tidak menginginkan ada seorang gadis memasuki ranah pribadiku. Dan, sekarang aku menginginkannya.
Aku menginginkan gadis itu untuk diriku, untuk jiwaku, untuk kehidupanku kelak.
Artikel Terkait
Monolog Sepatu Bekas
Cerpen: Wanita Jalang
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 1
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 2
Cerpen: Lelaki di Balik Layar 3