Yuna pun selalu mendapat klien yang lumayan besar dari kantornya. Oh, aku lupa menyebutkan. Yuna adalah salah satu pengacara yang cukup ternama di kota kami. Terkadang ia harus keluar kota untuk menjalani pekerjaannya. Namun, itu bukan masalah bagi kami. Sebab, selepas Yuna pulang dari luar kota, kami selalu menyempatkan diri bepergian berempat. Entah itu menjelajah alam atau sekadar makan bersama di restoran cepat saji.
Kami bahagia. Sungguh bahagia. Sampai aku tidak sadar bahwa sesuatu sedang terjadi. Dan, itu bukan sesuatu yang baik menurutku. Yuna menjadi lebih sering ke luar kota. Jika sebelumnya hanya satu kali dalam sebulan, sekarang menjadi tiga kali. Memang, tabungan kami bertambah karena perubahan intensitas itu, tetapi ada yang lain yang ikut berubah. Sayangnya, aku agak terlambat menyadari perubahan itu. Atau, aku sebetulnya sadar, hanya saja selalu menyangkal.
Kenapa menyangkal? Aku paham istriku—aku paham Yuna. Ia tidak akan berbuat macam-macam. Yuna adalah perempuan luar biasa. Perempuan sederhana dengan segala keindahannya. Aku tidak akan terima begitu saja jika ia sungguh berubah. Apalagi, berubah menjadi pribadi yang buruk.
Aku sempat menanyakan perihal intensitas kepergiannya ke luar kota. Yuna menjelaskan dengan tenang, bahkan menunjukkan berbagai bukti bahwa ia sungguhan bekerja di sana. Alih-alih mencecarnya lebih keras, justru aku yang meminta maaf karena sudah terlalu curiga. Yuna hanya tersenyum. Ia seperti sudah menduga sebelumnya bahwa itu akan terjadi. Belakangan aku tahu, itu memang bagian dari rencananya.
Jadi, kami terus berbahagia—atau setidaknya, merasa terus bahagia—sampai beberapa bulan setelahnya. Sampai aku mengetahui sedikit hal dari barang-barang Yuna.