Aku tertawa. “Aku tidak semisterius itu, Yuna,” kataku. “Aku tidak pernah menutup diriku.”
“Karena kamu berhenti mengejarku,” gumamnya, “aku seperti kehilangan sesuatu, Kak.”
Ingin sekali kuraih jemarinya, menggenggamnya sampai nanti, tetapi akal sehatku masih bekerja dengan baik. Tanpa menyentuhnya pun ternyata aku sudah mendapatkan hatinya. Tepatnya, Yunalah yang memenangkan hatiku.
“Aku tidak akan mengejarmu lagi, Yuna.”
Yuna mendongak cepat, memandangku dengan raut khawatir yang terlalu kentara.
“Sebab,” lanjutku, “kita sudah berada di titik yang sama. Jadi, kita bisa memulai perjalanan ini berdua.”
Rona merah muncul di wajah Yuna. Aku tahu, pasti rona yang sama juga muncul di wajahku.
Ya, kami akan memulai perjalanan ini.