Aku kembali tertawa. Kali ini gelak yang betul-betul membuatku kembali menjejak bumi. Oh, seandainya waktu benar-benar bisa diputar kembali, tentu akan lain jadinya.
“Jadi, Ru, bagaimana kamu bertemu Yuna?”
Aku menghela napas. Sesungguhnya, aku tidak suka pertanyaan itu. Sebab, akan membuatku membuka lagi segala hal yang ingin sekali kututup selamanya. Aku tidak dalam mode menyesal, tidak, itu tidak akan terjadi. Aku tidak pernah membiarkan diriku tenggelam dalam penyesalan. Hanya saja, aku agak enggan mengingat-ingat betapa semua tentang Yuna amat manis … pada awalnya.
“Akan panjang, Moy.”
Moy meringis. “Aku di sini selamanya, Ru. Siap mendengarkan segalanya.”
***
Baca Juga: Semua Sekolah di Jakarta Ditargetkan Bisa Laksanakan PTM Awal Januari 2022.
Aku pernah menonton sebuah film dokumentasi soal atom-atom yang menempel di tubuh manusia. Soal proton, neutron, dan teman-temannya yang aku tidak pernah hafal namanya. Yang aku ingat, atom-atom itu kadang saling tarik untuk menjaga keseimbangan. Mungkin, ini mirip dengan teori keseimbangan antara pria dan wanita, bahwa Tuhan menciptakan dua jenis itu untuk berpasang-pasangan. Namun, teori itu mungkin belum berlaku untukku.
Yah, sebagai pria yang baru mencecap fase usia dua puluhan, aku memang sudah beberapa kali pacaran ketika masa sekolah. Hanya saja, memang agak perih untuk diingat.
Beberapa hubungan berjalan begitu saja, mirip kemudi otomatis pada pesawat. Makan bersama di kantin sekolah, pulang dengan angkutan umum yang sama meskipun sebenarnya kami berlawanan arah menuju rumah, sesekali menelepon dari wartel jika sedang banyak uang di hari Minggu, dan yang paling mewah adalah, jalan-jalan berdua ke mal, berputar-putar tanpa ada yang hendak dibeli, lalu berujung makan mi ayam di warung yang berdiri di sebelah bangunan besar tersebut.
Saat itu mungkin terlihat indah. Banyak teman-teman yang iri denganku. Yah, apalah aku ini? Modal wajah pas-pasan, postur tubuh minimal, kekayaan orang tua yang segitu-gitunya, tetapi bisa menggaet beberapa cewek cantik di sekolah. Sayangnya, mereka yang iri tidak tahu bahwa aku nyaris tidak merasakan kebanggaan itu. Sudah kubilang semuanya hanya autopilot, kan? Jadi, hati ini masih hampa. Tidak ada rasa. Tidak ada bahagia.
Aku menyerah.
Aku pergi dari kota kelahiranku. Menepi ke tempat lain, sengaja berlindung di balik kebaikan keluarga kakakku. Saat itu, aku tidak membiarkan hatiku disentuh gadis mana pun. Untuk apa? Toh aku memang tidak ingin repot dengan segala ritual kencan itu. Aku adalah aku, dengan segala kesendirianku.
Sampai sekian tahun berikutnya, ketika aku kembali ke kotaku, aku menemukan wajah itu, di antara ratusan wajah yang mampir di ingatanku.