"Lama banget, sih!" bentak Samudra, menerobos masuk rumah.
Aroma minuman keras murahan menyeruak dan menyebar ke seluruh ruangan, membuat Murni sedikit menjauh dan menutup hidung. Hati Murni mengalunkan istighfar, memohon ampunan untuk putra tercinta, lalu kembali menutup pintu rumah dan masuk kamarnya diam-diam.
Perempuan itu duduk di tepi pembaringan, menghapus air mata yang telah melenyapkan rasa kantuk. Matanya terlihat penuh duka menatap foto usang suaminya yang tergantung di dinding kamar dengan tenang.
Baca Juga: China Akan Mengubah Makau dari Pusat Kasino menjadi Pusat Industri Teknologi
"Apa lagi yang harus kulakukan pada anakmu itu, suamiku? Kenapa kau biarkan aku berjuang sendiri? Apakah di sana kau melihat semua yang terjadi di sini?"
Perlahan Murni merebahkan tubuhnya yang kurus di pembaringan. Matanya menerawang jauh mencari bayangan suaminya, untuk menyusun sedikit kekuatan. Pikirannya tak lepas dari putra sulung yang belakangan lebih sering pulang hampir pagi dan dalam keadaan tidak sadar.
Bayangan mengenai putranya yang kelak akan menyandang gelar sarjana perlahan menjauh dari angan. Harapan bahwa Samudra kelak dapat mengangkat kembali derajat hidup mereka seperti sedia kala pun menjauh.
Murni tak dapat memejamkan mata lagi sampai suara ayam tetangga memanggilnya untuk segera memulai kegiatan. Kegiatan rutin yang semakin hari membuatnya dihinggapi keraguan akan keberhasilannnya mengantar kedua anaknya pada masa depan masing-masing.
"Samudra, bangun, Nak. Hari sudah siang," kata Murni dengan suara lembut, selembut pengorbanan yang mengikis ceria dan aura mudanya perlahan.
Baca Juga: Luwu Utara: Setelah 70 Tahun, Warga Lantang Tallang Akhirnya Nikmati Listrik PLN
Berulang kali digoyangnya tubuh Samudra yang masih terbungkus dalam selimut tebal melenakan itu. Samudra menggeliat dengan malas, duduk dengan malas pula, lalu menatap ibunya dengan kesal.
"Ada apa, sih, Bu. Aku masih ngantuk!"
Samudra kembali meringkuk di bawah selimut. Hatinya ingin mengatakan bahwa dia sedang menikmati tidur, dan masih ingin lebih lama menikmatinya. Seolah nanti tiada waktu lagi tersisa untuk tidurnya.
"Bangun, Nak. Kamu sudah melewatkan Subuh. Sekarang bangun dan siap-siap berangkat kuliah."
"Samudra capek, Bu. Hari ini nggak masuk kuliah."