Lain dengan aku yang memang sudah kotor dekil dan bau tengik. Aku bebas mau berkata apa saja karena keadaan luarku sudah begitu memuakkan. Mengapa bangsa ini penuh dengan keterbalikkan keadaan ya? Aku sadar pikiranku tidak akan sampai untuk memikirkannya.
Aku kembali melangkahkan kakiku, menjauh dari perempatan itu. Semakin banyak mata yang mengantarkan aku pergi, tapi yang aku lihat sebagian besar mata-mata itu sudah tidak jujur lagi. Persetan dengan mata-mata itu.
Karena aku kembali tersadar, aku tidak akan mungkin mampu memikirkan semuanya. Sama seperti kematian bapak yang membuatku bingung, mengapa orang-orang menghilangkan kejahatan dengan kejahatan. Bingung aku. Belum lagi keinginan ustadz Joko dan emak yang menginginkan aku menjadi ahli akhirat. Mengapa semua ini harus terjadi pada diriku.
Langkah kaki ini terus mengayun tanpa mampu aku tahan. Di depanku nampak banyak sekali pemuda sedang membawa tulisan-tulisan yang aku tidak mengerti isinya. Ada apa ini? Apakah ini yang namanya demonstrasi.
Seperti yang sering aku dengar dari preman-preman di Poncol, Pasar Senen. Preman-preman itu sering kecewa karena uang honor dari demonstrasi sering dipotong. Tapi meskipun mereka preman, dengan ikhlas mereka menerima. Sebab kalau menolak, mereka akan digaruk.
Baca Juga: Densus 88 Kembali Beraksi, Giliran Ustadz Farid Okbah yang Diamankan
Dari beragam peristiwa yang aku lewati, aku tertarik dengan peristiwa yang satu ini. Sebab dahulu aku memiliki cita-cita menjadi presiden, seperti Bung Karno idolaku. Aku jadi teringat ketika dahulu emak menanyakan aku ingin menjadi apa, sambil duduk di lincak depan rumah aku menjawab “presiden...!!!” Karena kekagumanku pada bung Karno yang saat itu menjadi presiden pertama bangsa ini.
Akh, rupanya rasa laparku tidak menghentikanku untuk menonton demonstrasi ini. Ooo...rupanya para demonstran yang memakai jaket berwarna-warni itu ingin menuntut orang mereka anggap telah korupsi.
“Minggir....awas....!!!” Seorang demonstran berjaket kuning dengan banyak tempelan yang hampir menutupi warna kuning di jaketnya menyuruhku minggir. Kulihat ia dan beberapa temannya menggotong seorang temannya yang berlumuran darah.
“Lari...!!” Orang yang berdiri di atas mobil bak terbuka berteriak keras di mikroponnya.
Baca Juga: Di Mata KPK, Kemensos Adalah Kementerian yang Strategis
Sejurus kemudian aku mendengar suara tembakan berulang kali. Para mahasiswa berhamburan, membuat aku pusing. Pusing menjatuhkan aku. Membuat aku terhempas di antara mereka yang berlarian menyelamatkan diri.
Gelap, pandanganku mulai kabur. Gelap menghitam dan semakin menghitam. Dari pendengaranku yang agak terganggu aku mendengar seseorang berkata,
“Ah. Cuma gelandangan. Dibayar berapa dia? Jelek, bau lagi. Kenapa aku hari ini tidak konsentrasi membidik ya?”*
Wirokerten, 02 Agustus 2006, Redia Sisthawan