“Berikan mereka waktu lain, jangan malam ini.”
“Mereka akan kecewa, Bu.”
“Inilah hidup. Para pemuda itu juga harus belajar kecewa.”
“Tapi…”
“Lakukan saja dan kamu akan segera naik jabatan. Tidak hanya sekedar menyanyi di panggung dan mengelola warung kecil ini.”
“Mohon izin saya membicarakannya dulu dengan Bapak.”
“Pilihanmu hanya dua. Lakukan sekarang atau kamu keluar dari ruangan ini dan jangan pernah kembali.”
Jalu menatap geram wanita yang kembali berjalan dengan anggun itu menjauh darinya. Tangannya mengepal dan mulutnya mendesis sambil menatap kain persegi berwarna merah putih yang sudah disiapkannya dengan cantik di sudut panggung.
Lalu, menatap nanar pada diktat berisi bait-bait kebangsaan yang kini menjadi sia-sia tergeletak begitu saja di meja sudut.
Baca Juga: Beberapa Nama Ruas Jalan Dalam Proyek Tahun Jamak Ogan Ilir 2007-2010
“Benar, kan, dugaanku.” Leo berbisik di sebelahnya.
“Masih ada waktu lima belas menit. Aku akan cari cara untuk bicara dengan Bapak.”
“Percuma, Jal. Bapak dari tadi menyaksikan perbincangan kalian dari jauh dan beliau hanya mampu tertunduk.”
“Aku keluar kalau begitu.”
“Jangan gegabah, Jal. Kalau kamu keluar, kita pasti akan dilempar semua keluar dari sini. Bagaimana nasib lima orang teman kita itu?”