Baca Juga: Istri Glenn Fredly, Mutia Ayu Buka-bukaan Awal Nyemplung Jadi Model Majalah Dewasa
Setelah sholat kami langsung menuju rumah kakakku. Kakakku sudah siap menyambut dengan ramah. Rumah yang tidak berubah namun terkesan etnik. Ya tidak ada kemewahan di sana. Namun aku yakin kembar pasti betah.
Aku berbincang sebentar dan sarapan. Aku menitipkan kembar karena aku dengan Raffa akan mendaki gunung Ciremai lewat jalur pendakian Linggarjati. Kakakku hanya mengingatkan untuk terus berdzikir saat naik gunung, apalagi melewati jalur Linggarjati.
Sesampainya di tempat berkumpul, aku baru pertama kali bertemu dengan pendaki lain. Kebetulan aku ikut trip ke Gunung Ciremai dengan komunitas. Semua serba kebetulan.
Ada 12 orang dalam kelompok kami. Banyak aturan yang harus dipatuhi. Ini bukan mitos tapi aturan ketika kita berada di alam. Jika tidak mengikuti aturan, maka ada konsekuensinya.
Baca Juga: Demam Squid Game: Netflix akan Mengedit Adegan yang Cantumkan Nomor Telepon yang Bikin Heboh
Perjalanan pun dimulai. Guide, navigator, dan swiper sudah siap dengan tugasnya. Jalur Linggarjati disebutnya jalur paling nyeni dibandingkan jalur cisantana dan majalengka. Kenapa paling nyeni? Karena Linggarjati adalah paket lengkap, mulai dari undakan tanah, tanjakan akar, batu-batuan, sampai pasir-pasir kerikil pun ada.
Mulai dari di dalam hutan submontana yang rimbun, sampai vegetasi khas subalphine seperti edelweiss. Dengan kondisi trek yang panjang dan tricky, Linggarjati menjadi trek pendakian yang tidak hanya membutuhkan tenaga, tetapi juga strategi khusus, disitulah disebut dengan seninya mendaki.
Ketika dalam perjalanan, aku dan Raffa bertemu dengan nenek-nenek.
“Ulah ngomong sembarangan” sambil jalan melewati kami.
Raffa bingung maksudnya apa. Lalu aku terjemahkan bahwa kita tidak boleh bicara sembarangan dan harus ikuti aturan seperti yang disampaikan oleh guide sebelumnya. Raffa pun menggangguk tanda mengerti. Aku pun mengingatkan kembali untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang dilarang.
Baca Juga: Nasib Muara Enim, APBD 2,4 Triliun, Pos Pendapatannya Bikin Ngiler?
Di perjalanan kami bisa melihat pemandangan laut utara. Ppokoknya keren sekali. Sampai juga di pos kedua, yaitu pos kuburan kuda.
Tiba-tiba Raffa berbisik padaku, “Ibu ini pos kuburan kuda itu ya?”
Aku pun tersentak dengan pertanyaan Raffa. Padahal seharusnya tidak boleh mengeluarkan kata kuda ketika sampai di pos itu. Aku pun mulai berkeringat dingin. Aku takut ada kejadian apa-apa. Raffa merasa bersalah dan terus-terusan berdzikir.
Pos kuda itu adalah tempatnya kuburan kuda. Jadi pada zaman penjajahan itu banyak kuda yang mati di tempat tersebut. Seram juga sih. Aku benar-benar deg-degan. Tiba-tiba salah satu pendaki jatuh. Dia menggigil kedinginan. Kebetulan angin memang kencang. Ternyara sudah jam 2 pagi. Maka kami pun berhenti untuk mengecek. Lalu para pendaki saling berbisik.