“Empat?” tanyaku heran.
Kirana malah cekikikan.
“Iya, Ayah,” sahut Dira. “Beli empat bungkus. Aku satu, Kakak satu, Ayah satu ….”
“Satu lagi?” Aku tak sabar.
“Untuk Tante Moy,” jawab Kirana.
“Tante Moy hari ini cantik sekali, Ayah. Aku suka melihat rambut ikalnya yang menari-nari tertiup angin,” celoteh Dira.
Ah, Moy, bahkan kamu tak pernah absen mengunjungi dua matahariku.
“Mommy!” seru Kirana dan Dira bersamaan. Mereka berlari ke arah seorang wanita yang ditemani dua remaja laki-laki. Lengan wanita itu terbentang. Kirana dan Dira menghambur ke pelukannya.
“Maaf Mommy agak terlambat jemput kalian, ya.”
Itu Bunga. Perempuanku. Dan, aku lelakinya. Kami mengikat janji bulan lalu. Dua remaja laki-laki yang mendampingi Bunga adalah anak-anaknya. Kesatria dan Cahaya.
Aku bertemu Bunga di kedai kopiku. Ia baru pindah ke kota ini dan rumahnya tak jauh dari kedaiku. Selanjutnya, semesta kembali berpihak padaku.
“Bagaimana kabar gadis itu?” tanya Bunga.
“Cantik dan rapuh, seperti biasanya,” jawabku sambil melingkarkan lengan kananku ke tubuh Bunga.
“Kamu tidak boleh terlalu keras padanya, Ru. Jangan sampai hatinya terluka lagi. Atau, ia tak mau lagi bertemu denganmu,” kata Bunga dengan nada serius.
Aku tertawa. Rasanya aku seperti mendengar Moy sedang menasihatiku.
T A M A T