KLIKANGGARAN-- Pada 1 Februari 2021, Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Naisonal dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19).
Sebagai penggantinya, September 2021, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) akan dilaksanakan. Ini menjadi upaya untuk menggantikan UN yang dinilai gagal dalam memeratakan pendidikan di Indonesia, bahkan dianggap sebagai hal yang menakutkan bagi siswa dan orang tua.
Kebijakan Mendikbud, Nadiem Makarim, dalam penghapusan UN sempat menjadi polemik pada 2020 lalu. Kebijakan ini berawal dari hasil laporan PISA 2018 yang menunjukkan rendahnya capaian siswa Indonesia, baik dari segi literasi, matematika, maupun sains.
Dilansir dari CNN Indonesia, Nadiem mengatakan bahwa hasil PISA juga menunjukkan bahwa siswa dengan ekonomi yang rendah belajar di sekolah swasta, sebaliknya siswa dengan ekonomi menengah ke atas justru banyak yang masuk ke sekolah negeri. Hal ini didapati karena sistem masuk sekolah negeri berdasarkan nilai UN.
Baca Juga: Lelaki di Balik Layar 2
Lebih lanjut Nadiem berkata, "Yang dapat UN tinggi yang orang tuanya mampu bimbel anaknya untuk dapat angka lebih tinggi. Anak yang enggak punya uang enggak masuk. Lucu kan? Sesuatu hal yang untuk kebaikan malah jadi instrumen diskriminatif,"
Sayangnya, alasan yang dikemukakannya ini tidak mendasar.
Apa yang disampaikan Mas Menteri ini tak lebih dari sebuah kepanikan bahwa negara memang telah gagal dalam mengelola pendidikan selama ini. Melimpahkan kesalahan pada pola pikir masyarakat dan eksistensi bimbel dalam membantu siswa dalam persiapan UN adalah bukti dari kepanikan tersebut, bahkan mengarah pada tindakan hegemoni belaka. Sebagai menteri, seharusnya ia sadar bahwa PISA tidak sekadar memberikan gambaran kualitas pendidikan dan ekonomi sebuah negara, tetapi lebih luas lagi: demografi, kebiasaan, persepsi, serta aspirasi yang diperoleh dari data respons angket sekolah dan siswa.
Rendahnya kemampuan literasi peserta didik, misalnya, tidak hanya karena ia miskin sehingga sulit mendapatkan akses buku. Lingkungan dan iklim belajar di sekolah, keadaan infrastruktur sekolah, sumber daya manusia sekolah, dan tipe organisasi serta manajemen sekolahlah yang justru sangat signifikan dalam memengaruhi tingkat literasi tersebut.
Hal-hal inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian Mas Menteri. Bukankah sudah menjadi fakta masih banyaknya infrastruktur sekolah yang buruk, belum lagi jika kita mempertanyakan tingkat kompetensi yang dimiliki oleh para pendidik dalam membantu siswa mempersiapkan UN.
Negara memiliki peran penting dan bertanggung jawab secara moral dalam permasalahan-permasalahan di atas. Membenahkan permasalahan tata kelola pendidikan adalah yang seharusnya dilakukan pemerintah. Menghapus UN dan menggantinya dengan AKM memang upaya dalam membenahi satu permasalahan tersebut. Ini yang perlu kita apresiasi.
Akan tetapi, yang sangat disayangkan adalah adanya penggiringan opini, misalnya menyalahkan orang tua siswa yang memasukkan anaknya ke bimbel. Padahal, menjamurnya bimbel justru harus dijadikan sebagai salah satu indikator betapa kurang meratanya kualitas pendidikan di Indonesia. Banyak orang tua yang mungkin merasa bahwa apa yang diberikan sekolah kurang memadai atau jangan-jangan ada kekhawatiran bahwa guru sekolah belum mampu membantu anak-anak mereka dalam persiapan UN, terlebih UTBK.
Baca Juga: Lelaki di Balik Layar 1
Artikel Terkait
Respons FSGI terhadap Kebijakan Terbaru Nadiem: Dari Kurikulum Hingga Bantuan Guru
Kebijakan Baru Mendikbud, MPR: Nadiem Makarim Buta Sejarah
Masalah Pendidikan Numpuk, Nadiem Gagal Sebagai Mendikbud
Kinerja Nadiem Makarim selama tahun 2020 Pas-pasan, Simak!
Soal Kamus Sejarah, Nadiem dan Muhadjir Pun ....
Nadiem: Sekolah Tatap Muka Terbatas untuk Daerah PPKM Level 3