Gus Dur, baik ketika menjabat Presiden maupun tidak, selalu membawa semangat Weltanschauung Islam dalam setiap jejak langkahnya. Welt = world = dunia; Anschauung = view = pandangan. Bagi kalangan pecinta Gus Dur pasti sudah hafal betul ini.
Dalam bahasa Kiai Edi AH Iyubenu Edi Mulyono, Weltanschauung Islam yang digagas Gus Dur ialah meletakkan nilai-nilai dasar Islam (maqashidus Syariah) yang paling substansial dan universal (shalih likulli zaman wa makan, selaras dengan kondisi waktu dan tempat) sebagai kemudi bagi segala realitas hidup umat Islam yang dinamis (RMI-ed, Diva Press, 2020).
Dalam setiap hela nafas perjuangannya, Gus Dur selalu menekankan 4 nilai kehidupan sosial dan bernegara, yaitu nilai keadilan, persamaan, kemanusiaan, dan demokrasi. Bagi sebagian kalangan, seringkali 4 prinsip perjuangan ini dianggap bagian dari semangat sekuler. Bahkan anggapan kontroversial itupun muncul dari kalangan NU sendiri.
Tetapi, alih-alih sekuler (karena terkesan mirip dengan penerapan di negara-nehara sekuler), justru prinsip-prinsip yang secara konsisten diperjuangkan Gus Dur itu lahir dari kecanggihan pemikiran yang bersumber dari formulasi Ushul Fiqh yang begitu mendalam. Dengan kata lain, secara implisit sesungguhnya nilai-nilai tersebut adalah Keadilan Islami, Persamaan Islami, Kemanusiaan Islami, dan Demokrasi Islami.
Nah, sepeninggal Gus Dur, kesempatan itu sekarang sudah menunggu selama setahun pada diri Kiai Ma'ruf. Masih ada waktu empat tahun untuk bisa membuktikan bahwa perwakilan santri-nahdliyin betul-betul cemerlang. Bukannya membandingkan, tapi Kiai Ma'ruf mungkin memang layak sebegitu diharapkan. Ia adalah penasihat Gus Dur ketika menjadi Presiden. Ia adalah Rais Aam NU, sebuah posisi pucuk di NU yang bahkan tidak pernah dijabat oleh Gus Dur sendiri.
Minimal, dalam benak saya, Kiai Ma'ruf harus mengembangkan Weltanschauung NU. Inilah kesempatan yang tepat (untuk menghindari kata 'satu-satunya') untuk menunjukkan kepada Indonesia, bahkan dunia, bahwa nilai-nilai yang dikaji tiap subuh sampai subuh lagi di tiap pondok pesantren sangat relevan dalam hidup berbangsa dan bernegara dengan segenap problematikanya.
Sekarang yang semakin menonjol di level dunia 'masih' NU kultural, termasuk yang diupayakan oleh Kiai Yahya Tsaquf selama ini. Katib Aam PBNU ini berhasil menyuarakan pandangan NU, yang merupakan menurut saya bagian dari Weltanscahuung NU tadi, dalam konflik Israel-Palestina. Kiai Yahya begitu menarik perhatian dunia dan beberapa kali diundang dan diperdengarkan oleh PBB.