Sibak Tabir Bancakan Anggaran Covid-19

photo author
- Rabu, 8 Juli 2020 | 10:32 WIB
images (26)
images (26)

Hal serupa juga terjadi ketika Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak mengetahui besaran biaya yang diperlukan untuk penyelamatan Bank Century.Pada awalnya penyelamatan Bank Century hanya membutuhkan Rp670 miliar, tapi melebar hingga mencapai Rp7 triliun.Dengan tidak adanya data yang tepat, maka beban keuangan untuk menyelamatkan perekonomian pada waktu itu sangat besar dan jumlahnya terus meningkat.


Sepertinya hal tersebut akan kembali berulang dengan adanya suntikan dana ke korporasi yang jumlahnya terus meningkat tanpa dukungan dana yang akurat sehingga potensial terjadinya penyimpangan penyimpangan dalam pelaksanannya.


Kekhawatiran masyarakat menjadi bertambah akut manakala membaca pasal 27 Perpu Nomor 1/2020  tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Virus Corona yang sekarang sudah menjadi Undang Undang.  Karena berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut seolah-olah justru sudah disiapkan untuk melindungi para pejabat dari jerat hukum pidana.


Pasal 27


(1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.


(2) Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota secretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(3) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara


Membaca ketentuan pasal 27 tersebut tentu orang akan bertanya tanya urgensinya.  Karena ketentuan pasal ini jelas membuka peluang untuk pejabat negara melakukan perampokan keuangan negara. Perampokan itu melalui stimulus secara besar-besaran dan terang-terangan. Karena, mungkin saja terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam menggunakan dana stimulus tersebut. Seperti terbukti di dua krisis ekonomi sebelumnya tahun 1998 dan 2008.


Menunggu Sepak Terjang KPK


Meskipun ada kekebalan  hukum bagi mereka para pengguna anggaran covid-19 tetapi UU tersebut saat ini sedang digugat oleh beberapa elemen masyarakat. Sehingga pihak penegak hukum harusnya proaktif untuk menindaklanjuti setiap dugaan penyelewengan yang terjadi.


Permintaan masyarakat akan dugaan temuan penyelewengan hendaknya ditindaklanjuti oleh KPK agar dana  covid -19  tidak disalahgunakan pengelolaannya. Sebaiknya juga mereka-mereka yang mempunyai dugaan tersebut membantu KPK dengan memberikan data yang dimiliki. Salah satu potensi penyimpangan yang paling mungkin  terjadi khususnya alokasi anggaran ke korporasi.


Mengapa demikian, karena sudah lazim terjadi alokasi ke sektor ini paling mudah untuk dijadikan lahan bancakan bagi pengguna anggaran covid karena sulit di deteksi disebabkan ada “gondoruwo” yang menunggui. 


Kita sudah sering mendengar KPK mengancam akan menuntut pidana hukuman mati kepada mereka yang melakukan korupsi dana penanggulangan bencana pandemi Covid-19. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri berjanji lembaganya akan memberikan hukuman tegas bagi pihak-pihak yang melakukan korupsi di tengah suasana bencana pandemi corona atau COVID-19. Tak tanggung-tanggung, Firli mengancamnya dengan pidana mati.Hal tersebut dikatakan Firli saat rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI membahas penanganan Covid-19, Rabu (29-4-2020) siang.


Penerapan hukuman mati bagi koruptor di Indonesia  sendiri diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”


Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.J. Putra

Tags

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X