Perubahan Pola Marketing

photo author
- Jumat, 14 Oktober 2022 | 22:31 WIB
Ilustrasi (Freepik)
Ilustrasi (Freepik)

KLIKANGGARAN -- Fenomena berubahnya arah perkembangan sekolah-sekolah negeri saat ini membuat Bimbel sebagai institusi nonformal harus menyesuaikan diri. Bimbel sebagai sebuah entitas bisnis selayaknya mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bimbel sebagai sebuah institusi pendidikan juga menjadi sebuah lembaga yang ikut membangun negeri melalui jalur nonformal.

Namun, ada sebuah keunikan tersendiri pada sistem pendidikan Indonesia di beberapa tahun belakangan. Hal inilah yang sudah selayaknya mengubah arah kebijakan dan keputusan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang bernama bimbingan belajar. Kebijakan ini berawal sejak 2017.

Melalui Permendikbud No. 17 tahun 2017 tentang PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan bentuk lain yang sederajat. Pada pasal 11, 12, dan 13 usia menjadi salah satu pertimbangan urutan prioritas dalam seleksi PPDB.

Sedangkan, batas usia maksimum maupun minimum pada tiap jenjang diatur dalam pasal 5, 6, dan 7. Pemprov DKI sendiri menerima kritikan terkait aturan usia sebagai kriteria pengurutan seleksi PPDB. Beberapa orang tua siswa menilai, ketentuan ini membuat siswa berprestasi malah tidak diterima di sekolah unggulan.

Perubahan pola marketing
Perubahan pola marketing (Dok. Istimewa)

Berkaca dari sudut pandang bimbingan belajar sebagai sebuah lembaga yang menjadi “alat bantu” siswa untuk mendapatkan nilai terbaik agar diterima di sekolah negeri unggulan akhirnya mendapatkan dampaknya. Berkurangnya siswa di beberapa bimbingan belajar menjadi dampak dari permendikbud tersebut. Beberapa siswa berpikir tidak perlu lagi mencari tambahan belajar di luar sekolah karena saat ini toh, nilai tidak menjamin siswa bisa diterima di sekolah unggulan.

Sebelum kita mengkritisi kebijakan pemerintah ada baiknya kita berkaca ke Amerika Serikat sebagai salah satu kiblat pendidikan di negara kita ini. Di Amerika Serikat, jika melihat dalam statistik, dari 10 Universitas terbaik di AS tidak ada satu pun universitas yang berstatus negeri atau milik pemerintah.

Semuanya adalah kampus swasta. Mengapa demikian? Amerika Serikat dengan pendapatan per kapita (2021) yang mencapai 36.430.000 USD menganggarkan 1,5 Trilyun USD untuk pendidikannya. Dana sebanyak itu tentunya harus tepat sasaran dan bermanfaat bagi rakyat AS. Salah satunya adalah dengan tetap menyubsidi sekolah-sekolah negeri mereka.

Pemerintah AS beranggapan bahwa sekolah negeri adalah sekolah yang terbuka bagi semua rakyat mereka, tidak peduli apa ras mereka, bagaimana kondisi akademis, kondisi ekonomi, dan asal mereka. Mereka akan mendapatkan fasilitas secara cuma-cuma dan tidak dikenakan biaya, selain untuk akomodasi mereka dari rumah ke sekolah pribadi tentunya. Bahkan, Pemerintah AS, di beberapa negara bagian, menyediakan bus gratis untuk membawa mereka dari lingkungan perumahan ke sekolah.

Pemerintah AS tidak lagi memikirkan bagaimana peringkat sekolah negeri mereka. Mereka berpikir sekolah negeri adalah sekolah untuk rakyat dan lebih mendorong sekolah-sekolah/kampus swasta untuk lebih berkembang menjadi lebih berkualitas. Dari semuanya apa korelasinya dengan Indonesia, terutama untuk dunia bimbingan belajar?

Jika berkaca dari perubahan kebijakan PPDB yang menggunakan usia dan zonasi. Sepertinya pemerintah Indonesia memiliki pandangan yang mendekati pemerintah Amerika Serikat tersebut bahwa sekolah negeri adalah sekolah yang terbuka untuk semua rakyat, tidak perlu lagi ada status sekolah unggulan atau sekolah terbaik daerah.

Intinya, pemerintah ingin pajak yang dibayarkan warga sekitar sekolah dirasakan oleh mereka yang berada di sekitar lingkungan sekolah itu sendiri, melalui kebijakan zonasi dan semua siswa yang kesulitan ekonomi mampu diterima di sekolah negeri tanpa harus memikirkan biaya. Jika mereka ingin mendapatkan fasilitas dan pelayanan lebih, mereka bisa bersekolah di sekolah swasta yang jelas berbiaya lebih mahal. Nah, apa kaitannya dengan bimbingan belajar?

Bimbingan belajar sebagai sebuah entitas bisnis sejatinya hadir dari masalah yang ada. Jika permasalahan itu sudah terselesaikan, sejatinya kita harus up scale, yaitu berpikir mengikuti perkembangan “masalah” yang ada di masyarakat. Saat ini, ke depannya yang akan berkembang adalah sekolah-sekolah swasta. Sebagai dampak dari berubahnya orientasi pemerintah yang akan membuat sekolah negeri sebagai sekolah terbuka yang tidak lagi membutuhkan kemampuan akademis baik.

Perkembangan akan membawa sekolah swasta untuk bersaing atau minimal menerima siswa-siswa berkemampuan akademis baik. Ini bisa dianalisis dari, 1. Adanya keresahan dari pihak orang tua yang melihat bahwa kenyataan siswa yang diterima di sekolah negeri rata-rata berusia tua melebihi usia siswa umum, 2. Siswa-siswa yang gagal masuk negeri karena faktor usia yang masih kurang, tetapi memiliki kemampuan akademis baik akhirnya memilih masuk ke sekolah swasta, 3. Beberapa sekolah swasta mengadakanujian saringan masuk untuk menyeleksi kemampuan akademis siswa barunya.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Kitt Rose

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X