Kebiasaan Curhat serta Perasaan Sebagai yang Paling Menderita

photo author
- Kamis, 27 Januari 2022 | 11:28 WIB
Ilustrasi (Moy)
Ilustrasi (Moy)

 

KLIKANGGARAN - Sebagian dari kita mungkin punya satu atau lebih teman yang biasa diajak berbagi cerita. Teman curhat, istilah bekennya.

Segala hal kita ceritakan kepada si sahabat ini. Mulai dari hal-hal receh yang menjadi kebiasaan sehari-hari, sampai yang tema berat seperti masalah rumah tangga. Mulai dari sukacita sampai dukacita, begitulah intinya.

Ya, bicara dengan orang lain, bertukar cerita, memang menjadi salah satu cara mengurai pikiran yang telanjur kusut. Lebih jauh lagi, bicara dengan orang lain dapat mengurangi setidaknya sebagian beban yang sejak awal bertumpuk. Curhat adalah jalan ninja menuju kelegaan hati dan pikiran.

Hanya saja, sesi curhat tidak selalu berakhir baik-baik saja. Seharusnya, jika satu pihak bercerita, pihak lain hanya mendengar. Jika (lagi!) yang bercerita tidak meminta solusi, pihak lain tidak perlu mengeluarkan kritik dan saran layaknya timbal balik prosedur pelayanan publik. Jika (lagi!!) itu dilanggar, niscaya terjadi baku argumen yang tampaknya enggan menuju baku sayang.

Baca Juga: Hasil Riset Calon Doktor Kriminologi UI: Waspadai Radikalisme jelang Pilpres seperti Aksi 212

Kejadian lain yang kerap muncul adalah perlombaan demi memperebutkan status paling menderita. Umumnya ini dilakukan secara tidak sadar. Rata-rata terpicu oleh keinginan menghibur pihak yang menderita.

Bahwa, kondisinya masih lebih baik dan tidak seharusnya berkeluh kesah. Hanya saja, kereta cepat seharusnya tidak melintasi rel odong-odong. Niat baik memang harus dilaksanakan dengan tata cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya agar tidak memakan banyak kuota internet.

Seperti apa, sih, kompetisi menjadi yang paling menderita itu? Mari kita simak contohnya.

Misalkan saja fulanah A bercerita kepada fulanah S, “Beb, masa gue tadi abis belanja, eh, kembaliannya kurang serebu, coba. Pas gue tagih lagi ke kasirnya, eh, si mbaknya malah kencengan nyolot. Dibilang, ilang serebu aja ribut, gimana ilang lakik. Gitu, Beb.”

Baca Juga: Yuk, Kenali Bandara Stanvac, Satu Bukti Kejayaan Kota Pendopo, PALI Tempo Dulu, Serta Keinginan Bupati PALI

Lantas, fulanah S menyahut, “Lah, elu mendingan kembalian kurang serebu. Gue kemaren belanja kurang kembalian lima rebu malah dikasi tawsiyah. Kata ibu-ibu dagang timun tempat gue belanja, mending lima rebunya tambahin timun aja lagi, biar banyak stok segar di rumah, daripada dia nyari tukeran duit lima rebu dari lapak lain.”

Terdengar familier, ya? Pasti kita pernah mengalami kejadian seperti itu setidaknya sekali seumur hidup. Beruntungnya, kita jarang mempermasalahkan. Yang ada malah si pencurhat berbalik mem-pukpuk lawan bicaranya.

Baca Juga: Edy Mulyadi Sebut Menhan Macan Mengeong, Bagaimana Sikap Prabowo?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muslikhin

Sumber: opini

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X