Menikah atau Tidak Menikah?

photo author
- Rabu, 12 Januari 2022 | 09:03 WIB
Ilustrasi (Moy)
Ilustrasi (Moy)

KLIKANGGARAN--Jagat media sosial memang luar biasa. Tempat segalanya tumpah ruah dengan riuh rendah. Banyak manfaat, tetapi tak jarang menuai kegaduhan berlebih. Aktivitas debat yang dahulu hanya bisa dilakukan di forum-forum—tentunya dengan bertatap muka langsung—sekarang bisa dikerjakan secara virtual. Termasuk salah satunya adalah perdebatan soal pilihan menikah atau tidak menikah.

Menikah atau tidak menikah, itu merupakan pilihan personal. Tidak ada orang lain yang berhak melakukan intervensi. Akan tetapi, warganet penghuni jagat maya seolah-olah memiliki kuasa menentukan apa yang harus dilakukan orang lain, apalagi jika orang tersebut adalah figur publik. Ini adalah tema purba, polemik lawas yang terus saja mendapat nutrisi untuk tumbuh tak terkendali.

Tak perlu sampai menyebut nama para figur publik, warganet yang masih waras tentu gemas menonton polemik pilihan menikah atau tidak menikah. Padahal, jika ingin menyalurkan energi berlebih, mengapa tidak membahas—dan tentunya dibarengi dengan aksi nyata—soal pemerataan taman baca ke pelosok nusantara?

Dalam KBBI Daring, nikah dimaknai sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (diakses 12 Januari 2022). Ikatan tersebut terjadi atas dua orang yang sudah memenuhi berbagai ketentuan seperti usia, kondisi kesehatan, juga kelengkapan administrasi. Dan, memang, tidak tertulis secara gamblang bahwa kedua calon mempelai harus siap secara mental dan finansial. Akan tetapi, dua aspek itu nyatanya menyumbang alasan dalam kacaunya sebuah pernikahan.

Tak kurang-kurang kantor polisi atau posko-posko pengaduan KDRT menerima laporan kasus baru tiap harinya. Mulai dari level ringan sampai yang berat. Dan, perlu diperhatikan, yang dimaksud kekerasan di sini tidak melulu tindakan fisik yang menyebabkan kesakitan, tetapi pengabaian pun termasuk di dalamnya.

Tak kurang-kurang pula para konselor dan pemerhati urusan pernikahan membuat media edukasi, pelatihan, atau semacamnya dengan harapan kasus-kasus tersebut bisa berkurang. Akan tetapi, terlihat seperti menabur garam ke lautan.

Bisa jadi, kondisi inilah yang memunculkan gerakan memilih untuk tidak menikah. Saking banyaknya yang memilih, juga kekuatan media sosial dalam menyebarkan konten, kelompok ini tampak sangat besar. Mungkin menjadi sama besarnya dengan kelompok yang memilih opsi menikah. Maka, ketika ada satu-dua kasus mencuat, dua kubu ini terlihat seperti Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusetra.

Seorang sahabat suatu hari bertanya dengan nada sambat yang kentara, “Mengapa Kakak tidak bilang kalau menikah bisa semerepotkan ini?”

Ya, saya memang tidak pernah bercerita soal kehidupan pernikahan dengannya, meskipun kami cukup akrab sejak 2011. Yang kami bahas tidak lepas dari buku, naskah, lomba-lomba, dan kadang menertawakan tingkah anak didiknya di sekolah.

Menikah itu repot. Memang betul. Akan tetapi, selayaknya rasa pedas di kedai mi goreng kekinian, repot pun memiliki banyak level. Ada repot yang masih mudah diselesaikan, ada pula yang butuh waktu lama dan usaha keras. Lagi pula, saya tidak ingin merusak kesenangan orang lain dengan pendapat-pendapat saya. Maka, saya tidak pernah membahas pernikahan dengannya. Dan, ketika momennya datang, kudoakan yang terbaik untuknya.

Menikah memang menambah kerepotan. Setidaknya, tanpa ia bercerita, saya tahu ia cukup repot dengan kehidupan barunya. Ia tidak lagi iseng mengirim pesan kepada saya, mengajak membahas buku atau yang lain. Saya tidak mempermasalahkannya. Sebab, dari banyak sekali hal-hal yang ia poskan di media sosial, saya merasakan kebahagiaannya.

Iya, menikah memang merepotkan, tetapi sekaligus bisa membahagiakan. Hanya saja, seperti rasa pedas pada mi goreng, kebahagiaan juga punya banyak jenis dan tingkatan. Tidak perlu heran jika akhirnya muncul orang-orang dengan pilihan tidak ingin menikah. Mungkin, bagi mereka, memiliki dan merawat anak kandung akan menciptakan kerepotan luar biasa. Akan tetapi, jangan heran pula jika mereka rela kerja delapan belas jam sehari demi mengumpulkan dana untuk keperluan sebuah panti asuhan.

Apakah bekerja tidak merepotkan dibanding mengurus anak dan pasangan? Belum tentu juga. Sebagian orang mungkin menganggap bekerja adalah hal yang merepotkan, apalagi jika berurusan dengan sebuah tim kerja yang besar. Berlaku juga sebaliknya. Seorang balita bisa sangat merepotkan jika kita sedari awal tidak memantapkan hati untuk merawatnya.

Saat menjawab pertanyaan sahabat tadi, saya sempat berseloroh, “Kalau tahu menikah akan sangat merepotkan, saya juga ingin menundanya.” Lalu, kami tertawa bersama.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muslikhin

Sumber: Klik Anggaran

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Nilai-Nilai HAM: Antara Janji Moral dan Kenyataan Sosial

Selasa, 16 Desember 2025 | 09:38 WIB

Dugaan Perjudian di Gacha Game dan Loot Box di Indonesia

Minggu, 14 Desember 2025 | 14:51 WIB

PKB Blunder, M Nuh dan Nusron Berkibar

Jumat, 12 Desember 2025 | 19:39 WIB

Konflik di PBNU dan Hilangnya Ruh Khittah Ulama

Senin, 8 Desember 2025 | 16:19 WIB

OPINI: Ketika Rehabilitasi Menyalip Pengadilan

Kamis, 4 Desember 2025 | 12:25 WIB
X