KLIKANGGARAN -- "Ritual" tahunan Umat Islam di Indonesia setiap akhir tahun selalu memperdebatkan soal ucapan selamat Natal dan perayaan malam tahun baru.
Sebetulnya kajian ucapan selamat Natal dan perayaan tahun baru sudah tuntas, para pakar dari ulama sudah bicara, dari berbagai aliran dengan kesimpulan hukumnya masing-masing.
Memang persoalan ucapan selamat Natal dan perayaan tahun baru bukan pada hukumnya saja yang masuk ranah fiqh.
Persoalan yang belum tuntas justru ketika sebagian melihatnya sebagai persoalan hukum fiqh yang berarti ranah furu'iyah ijtihadiyah, sementara sebagian lain melihatnya sebagai persoalan Aqidah yang bersifat ushuliyah.
Kalau sesama ranah fiqih kita mengenal kaidah "Ijtihad tidak bisa membatalkan Ijtihad yang lain"
(الاجتهاد لا ينقض بالاجتهاد)
Seorang Mujtahid, dalam ukuran kompetensi tertentu, memiliki level yang sama dengan sesama Mujtahid yang lain.
Kecuali jika satu Mujtahid vis a vis mayoritas Mujtahid di jamannya, tentu pendapatnya diposisikan dibawah pendapat mayoritas tersebut.
Dalam ranah fiqih, perbedaan ijtihad tidak membawa kata sesat, atau bahkan kafir.
Paling jauh disebut keliru atau salah. Wajar saja toh yang menyimpulkan suatu hukum pasti melihat pandangan hukum mujtahid lainnya sebagai keliru dan karenanya dia tidak mengambil kesimpulan itu.
Maka terkenal ungkapan ulama di masa lalu Wallahu A'lam bis Showab (Allah yang paling tahu mana yang benar).
Inilah bentuk ketawadhuan ulama masa lalu. Ulama jaman sekarang boleh jadi kadar toleransinya jauh berkurang kepada pendapat yang berbeda.
Persoalannya jadi lain kalau dianggap sebagai persoalan Aqidah yang bersifat mutlak dan zonder toleransi.
Wilayah Aqidah disebut Ushul (pokok) yang sangat fundamental sehingga tidak banyak ruang untuk beda pendapat.